Ilmuwan, Dia Pergi Bukan Berarti Tak Cinta


         Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keanekaragaman suku dan adat. Dengan penduduk sebayak kurang lebih 230 juta jiwa, sebagian diantaranya merupakan orang – orang penting yang memiliki pengaruh besar dalam kesejahteraan hidup manusia di dunia. Salah satunya adalah mereka yang menjadi seorang Ilmuwan, orang yang bekerja dan mendalami ilmu pengetahuan dengan tekun dan sungguh-sungguh.
         Seorang Ilmuwan selalu menyempatkan waktu untuk mengeksplorasi ilmu-ilmu yang belum pernah mereka pelajari, serta mengembangkan ide-ide baru menjadi sebuah inovasi yang biasanya mereka tujukan untuk kesejahteraan masyarakat. Hebat bukan? Di jaman seperti ini, ketika orang-orang bekerja keras untuk mengisi perut mereka  bahkan ada yang ‘perutnya sudah penuh’ tapi masih serakah tidak berfikir untuk mensejahterakan banyak orang dengan cara yang baik, masih ada orang yang pekerjaannya tak lepas dari sebuah tujuan untuk mensejahterakan kehidupan masyarakat.
        Perjalanan seorang ilmuwan biasanya diawali dengan sekolah. Mereka menimba ilmu sebanyak mungkin demi penelitian mereka di masa depan. Salah satu jalan untuk mewujudkan cita-cita mereka diantaranya dengan bersekolah di luar negeri. Baik melalui jalur beasiswa maupun personal. Disana, hidup mereka pun tak mudah. Mereka harus bisa beradaptasi sembari kuliah. Tentu saja tidak mudah karena mulai dari bahasa, adat, sampai ideologi semuanya berbeda. Mereka juga harus pintar-pintar membagi waktu. Beribadah, belajar, beristirahat, dan bergaul, semuanya harus seimbang. Yang berada di dalam negeri pun tak jauh berbeda. Hanya sedikit lebih mudah.
         Menjadi seorang ilmuwan itu tidak mudah. Seorang anak yang mengatakan ingin menjadi seorang ilmuwan terkadang diremehkan terlebih dahulu. Banyak yang menganggap kalau pekerjaan seorang ilmuwan itu sia-sia. Tidak ada kepastian penghasilanya untuk memenuhi kesejahterananya. Setidaknya itu yang selalu menjadi bayang-bayang mengenai seorang ilmuwan pada setiap orang di Indonesia. Mungkin benar, kepastian akan keberhasilan sebuah penelitian seorang ilmuwan tidak selalu 100%. Banyak diantara mereka yang gagal bahkan sampai berkali-kali. Namun, seseorang yang benar-benar berjiwa ilmuwan tidak akan menyerah semudah itu. Mereka akan cepat bangkit dan mencobanya kembali.
         Mungkin alasan tepat mengapa mereka beranggapan bahwa seorang ilmuwan itu tidak mempunyai kepastian untuk memenuhi kesejahteraannya karena sudah jarang calon-calon ilmuwan yang setelah lulus mencapai sarjana kemudian memulai pekerjaannya di Indonesia. Apalagi mereka yang berkuliah di luar negri. Banyak diantara mereka yang tidak pulang ke tanah air karena merasa sejahtera dan memilih menetap di negara tertentu. Yang berkuliah di Indonesia pun tak jauh berbeda. Mereka yang baru saja lulus mencapai sarjana sebagian besar sudah ditawari fasilitas terlebih dahulu oleh negara-negara asing. Melihat fasilitas lengkap yang tidak diberikan oleh Pemerintah Indonesia seperti itu, banyak yang memilih menerima tawaran negara asing tersebut.
         Alasan mengapa mereka lebih memilih menetap di luar negeri karena Pemerintah Indonesia kurang memfasilitasi. Padahal, mereka butuh fasilitas yang lengkap guna mencapai keberhasilan penelitian mereka. Gaji yang diberikan Pemerintah pun jauh lebih rendah dibandingkan gaji para ilmuwan di negara lain.
         Salah satu contoh yaitu penuturan Wakil Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Endang Sukara yang mengatakan, gaji berikut tunjangan seorang profesor riset LIPI saat ini sekitar Rp 5 juta per bulan. Jumlah ini jauh dibandingkan dengan profesi yang sama di Amerika Serikat yang diberikan gaji sekitar Rp 90 juta per bulan atau di Jepang sekitar Rp 600 juta. Adapun di Pakistan, gaji ilmuwan terkemuka bisa tiga kali dari gaji seorang menteri.
         Negara-negara asing itu pun tahu akan kelemahan ini. Oleh karena itu mereka gencar menawarkan fasilitas kepada mahasiswa Indonesia yang sedang mengambil program doktoral, mereka juga datang ke sejumlah lembaga riset di Tanah Air. (kompas.com)
         Saya bisa memahami alasan ilmuwan yang memilih melakukan penelitian untuk negara lain. Bukan berarti mereka tidak mencintai Tanah Air. Namun mungkin karena ada perasaan tidak berguna  khususnya bagi ilmuwan muda yang baru lulus kuliah di luar negeri ketika tiba di Tanah Air (kaskus.co.id). Mereka masih muda, bahkan mungkin sudah menyandang gelar doctor atau professor, tetapi hasil pendidikannya selama ini tidak mendapat tempat ataupun dihargai di Indonesia.
         Bagaimana respon pemerintah? Apakah pemerintah merasa kehilangan? Ya! Akhirnya mereka merasa kehilangan. Menurut beberapa berita yang saya baca, setelah sekian tahun akhirnya mereka merasa kehilangan. Mereka kehilangan orang-orang cerdas dan jenius yang bahkan mampu bersaing dengan sumber daya manusia negara-negara maju lainnya. Mereka menyiasati supaya sarjana lulusan Indonesia tidak ‘lari’ semua. Mereka terus mendorong lulusan-lulusan peguruan tinggi yang menjadi ilmuwan tidak lari ke luar negeri, tapi mengabdikan diri di Indonesia. Salah satu upaya yang mereka lakukan ialah dengan menerapkan ketentuan dalam program beasiswa. (detik.com)
         Ketentuan tersebut dihitung dalam sebuah rumus N2+3, dimana N sebagai masa tahunan belajar Dengan kata lain, jika si penerima beasiswa menghabiskan masa belajarnya selama 3 tahun, maka dia wajib mengabdikan diri di Indonesia selama 9 tahun (6+3). Usaha yang cukup baik. Namun, bagaimana dengan sarana dan prasarana penelitian yang mereka butuhkan? Seperti laboratorium contohnya.
         Laboratorium-laboratorium tersebut tentunya berbeda bagi masing-masing bidang yang ditekuni para ilmuwan. Seorang ilmuwan nanoteknologi tentu akan mati langkah ketika tidak ada laboratorium nanoteknologi. Begitu juga pada bidang yang lain. Mereka mungkin juga akan mati langkah bila fasilitas berupa sarana dan prasarana tersebut tidak tersedia.
         Dengan perekonomian Indonesia yang lemah dan penduduk yang masih kekurangan dimana-mana, para ilmuwan Indonesia mungkin tak berharap banyak. Sekali lagi, bukan karena  tidak mencintai Tanah Air tapi karena mengerti kondisinya seperti apa. Mungkin seperti itu alasan yang ingin mereka sampaikan saat seseorang mengatakan, seorang ilmuwan hanya manusia biasa yang bisa tergiur pada gaji besar.
        Selain fasilitas penelitian yang kurang, untuk mendapatkan hak paten di Indonesia juga sangat sulit, berbelit-belit, dan lama, bisa sampai sembilan tahun. Padahal, paten adalah kebanggaan dan pengakuan terhadap peneliti sekaligus tambahan keuangan dari royalti yang mereka dapatkan. Menurut Nani Grace Berliana dari pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi LIPI (Kaskus.co.id) selama 2001 sampai 2010, paten milik 237 juta jiwa di Indonesia 115. Sangat miris. Padahal perjuangan mereka dalam menempuh pendidikan tidaklah mudah.  
         Tidak bisakah mereka kembali dan menetap di Indonesia? Meneliti sesuatu untuk Indonesia, Tanah Air yang sangat mereka cintai? Mereka mungkin berharap demikian. Salah seorang yang saya kenal juga mempunyai seorang anak yang menjadi ahli gizi disebuah perusahaan produk X yang berada di Amerika. Putranya tersebut sebelumnya mendapat beasiswa dari pemerintah untuk berkuliah di sebuah Universitas di Jerman jurusan Kimia Pangan. Beliau menceritakan suka duka putranya kuliah disana.
         Usai kuliah, putranya itu memberitahu beliau kalau dia ingin mencari pekerjaan di Indonesia. Mungkin putranya itu sudah tidak ingin jauh-jauh dari orang tuanya yang semakin senja usianya. Terlebih dia sudah meninggalkan Indonesia untuk waktu yang cukup lama. Namun beliau tampak kurang setuju. Beliau kasihan dengan perjuangan putranya itu jika harus bekerja di Indonesia. Selain itu, beliau juga tidak mau susah payah meminta pemerintah untuk memfasilitasi putranya dengan cukup. Beliau memberitahu putranya untuk tidak mengambil jalan yang merepotkan. Merepotkan pihak mereka juga pihak pemerintah. Akhirnya beliau mengantar keberangkatan putranya itu ke Bandara Soekarno Hatta bersama istri dan putra keduanya. Beliau mengatakan, sesudah pensiun, putranya akan menjemputnya untuk tinggal di Amerika. Beliau menambahkan kalau hal itu bukan berarti mereka tidak mencintai Tanah Air, tapi mereka tidak mau menambah beban Tanah Air.
         Para Ilmuwan diluar sana mungkin sangat ingin pulang ke kampung halamannya di Tanah Air. Para guru besar yang bertahan di Indonesia sepertinya mengetahui hal tersebut dan sedang mengusahakannya. Salah satu usaha yang mereka lakukan diantaranya melakukan diskusi mengenai bagaimana membangun sistem yang bisa mengakomodasi kemampuan riset mereka.
         Saya sangat berharap usaha ini berhasil, karena bagaimanapun juga mereka bisa mewujudkan cita-cita mereka berkat Indonesia. Baik secara langsung maupun tidak langsung. Karena menjadi Ilmuwan juga merupakan cita-cita saya dan saya berharap bisa mewujudkan cita-cita ini pada saatnya nanti, amin.

         

Komentar

Postingan Populer