Hubungan Kerajaan Kediri dan Kerajaan Singasari



.
BAB I


KERAJAAN KEDIRI

A.       Berdirinya Kerajaan Kediri

Kerajaan Kediri atau Kerajaan Panjalu adalah merupakan sebuah kerajaan besar yang terletak di daerah Jawa Timur yang berdiri pada abad ke-12 yang terdapat di Jawa Timur antara tahun 1042-1222. Kerajaan ini berpusat di kota Daha, yang terletak di sekitar Kota Kediri sekarang. Kerajaan ini merupakan bagian dari Kerajaan Mataram Kuno. Pusat kerajaanya terletak di tepi Sungai Brantas yang pada masa itu telah menjadi jalur pelayaran yang ramai. Pada tahun 1041 atau 963 M Raja Airlangga memerintahkan membagi kerajaan menjadi dua bagian. Pembagian kerajaan tersebut dilakukan oleh seorang Brahmana yang terkenal akan kesaktiannya yaitu Mpu Bharada. Kedua kerajaan tersebut dikenal dengan Kahuripan menjadi Jenggala (Kahuripan) dan Panjalu (Kediri) yang dibatasi oleh gunung Kawi dan sungai Brantas dikisahkan dalam prasasti Mahaksubya (1289 M), kitab Negarakertagama (1365 M), dan kitab Calon Arang (1540 M). Tujuan pembagian kerajaan menjadi dua agar tidak terjadi pertikaian.
Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membelah wilayah kerajaannya karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Putra yang bernama Sri Samarawijaya yang mendapat gelar Sri Samarawijaya Dharmasuparnawahana Teguh Uttunggadewa mendapatkan kerajaan barat bernama Panjalu yang berpusat di kota baru, yaitu Daha. Sedangkan putra yang bernama Mapanji Garasakan mendapatkan kerajaan timur bernama Janggala yang berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan. Panjalu dapat dikuasai Jenggala dan diabadikanlah nama Raja Mapanji Garasakan (1042 – 1052 M) dalam prasasti Malenga. Ia tetap memakai lambang Kerajaan Airlangga, yaitu Garuda Mukha.
Pada awalnya perang saudara tersebut, dimenangkan oleh Jenggala tetapi pada perkembangan selanjutnya Panjalu/Kediri yang memenangkan peperangan dan menguasai seluruh tahta Airlangga. Dengan demikian di Jawa Timur berdirilah kerajaan Kediri dimana bukti-bukti yang menjelaskan kerajaan tersebut, selain ditemukannya prasasti-prasasti juga melalui kitab-kitab sastra. Dan yang banyak menjelaskan tentang kerajaan Kediri adalah hasil karya berupa kitab sastra. Hasil karya sastra tersebut adalah kitab Kakawin Bharatayudha yang ditulis Mpu Sedah dan Mpu Panuluh yang menceritakan tentang kemenangan Kediri/Panjalu atas Jenggala.
Kerajaan Jenggala meliputi daerah Malang dan delta sungai Brantas dengan pelabuhannya Surabaya, Rembang, dan Pasuruhan, ibu kotanya Kahuripan, sedangkan Panjalu kemudian dikenal dengan nama Kediri meliputi Kediri, Madiun, dan ibu kotanya Daha. Berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan masing-masing kerajaan saling merasa berhak atas seluruh tahta Airlangga sehingga terjadilah peperangan.
Peristiwa pembagian kerajaan oleh Airlangga disebutkan dalam Nagarakretagama dan Serat Calon Arang. Prasasti Turun Hyang II (1044) juga menguatkan informasi tentang pembagian kerajaan tersebut, dalam sejarah Kerajaan Kediri.
Dalam perjalanan sejarah Prasasti Turun Hyang II merupakan piagam pengesahan anugerah dari Mapanji Garasakan kepada penduduk Desa Turun Hyang karena mereka setia membantu Janggala melawan Panjalu. Oleh karena itu, Desa Turun Hyang ditetapkan sebagai sima swatantra atau perdikan (daerah yang dibebaskan dari kewajiban membayar pajak).
Kerajaan Panjalu kemudian lebih dikenal dengan nama Kerajaan Kediri. Pada awal beridirinya, nama Panjalu atau Pangjalu lebih sering digunakan daripada nama Kadiri atau Kediri. Sebutan nama Panjalu dapat kita dijumpai di prasasti-prasasti yang dibuat oleh raja-raja Kerajaan Kediri. Dalam kronik Cina yang berjudul Ling Wai Tai Ta (1178), nama Panjalu bahkan muncul dengan sebutan Pu-chia-lung.
Nama "Kediri" atau "Kadiri" sendiri berasal dari kata Khadri yang berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti pohon pacé atau mengkudu (Morinda citrifolia). Batang kaulit kayu pohon ini menghasilkan zat perwarna ungu kecokelatan yang digunakan dalam pembuatan batik, sementara buahnya dipercaya memiliki khasiat pengobatan tradisional.







B.       Perkembangan Kerajaan Kediri
Pada awal masa perkembangannya Kerajaan Kediri yang beribukota di Daha tidaklah banyak diketahui orang. Prasasti Turun Hyang II (1044) yang diterbitkan oleh Kerajaan Janggala hanya memberitakan adanya perang saudara antara kedua kerajaan sepeninggal Airlangga.
Sejarah Kerajaan Panjalu mulai diketahui oleh adanya prasasti Sirah Keting tahun 1104 atas nama Sri Jayawarsa. Raja-raja sebelum Sri Jayawarsa hanya Sri Samarawijaya yang sudah diketahui, sedangkan urutan raja-raja sesudah Sri Jayawarsa sudah dapat diketahui dengan jelas berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan.
Kerajaan Panjalu di bawah pemerintahan Sri Jayabaya berhasil menaklukkan Kerajaan Janggala dengan semboyannya yang terkenal dalam prasasti Ngantang (1135), yaitu Panjalu Jayati, atau Panjalu Menang.
Pada masa pemerintahan Sri Jayabayalah akhirnya Kerajaan Kediri baru mengalami masa kejayaannya. Wilayah kerajaan ini mencakup seluruh Jawa dan beberapa pulau di Nusantara, bahkan juga sampai mengalahkan pengaruh Kerajaan Sriwijaya di Sumatra.
Hal ini diperkuat kronik Cina berjudul Ling wai tai ta karya Chou Ku-fei tahun 1178, bahwa pada masa itu negeri paling kaya selain Cina secara berurutan adalah Arab, Jawa, dan Sumatra. Pada Saat itu yang berkuasa di Arab adalah Bani Abbasiyah, di Jawa ada Kerajaan Panjalu, sedangkan di Sumatra dikuasai oleh Kerajaan Sriwijaya.
Penemuan Situs Tondowongso pada awal tahun 2007 yang diyakini sebagai peninggalan Kerajaan Kediri diharapkan dapat membantu memberikan lebih banyak informasi mengenai kerajaan tersebut.

C.       Perkembangan Politik Kerajaan Kediri
Mapanji Garasakan memerintah Kediri tidaklah lama. Ia kemudian digantikan oleh Raja Mapanji Alanjung (1052 – 1059 M). Mapanji Alanjung kemudian diganti lagi oleh Sri Maharaja Samarotsaha. Pertempuran yang terus menerus antara Jenggala dan Panjalu menyebabkan selama 60 tahun tidak ada berita yang jelas mengenai kedua kerajaan tersebut hingga munculnya nama Raja Bameswara (1116 – 1135 M) dari Kediri.
Pada masa itu ibu kota Panjalu telah dipindahkan dari Daha ke Kediri sehingga kerajaan ini lebih dikenal dengan nama Kerajaan Kediri. Raja Bameswara menggunakan lencana kerajaan berupa tengkorak bertaring di atas bulan sabit yang biasa disebut Candrakapala. Setelah Bameswara turun tahta, ia kemudian digantikan oleh Jayabaya yang dalam masa pemerintahannya itu berhasil menaklukkan Jenggala. 
Pada tahun 1019 M Airlangga diangkat menjadi raja Medang Kamulan. Airlangga berusaha memulihkan kembali kewibawaan Medang Kamulan. Setelah kewibawaan kerajaan berahasil dipulihkan, Airlangga memindahkan pusat pemerintahannya dari Medang Kamulan ke Kahuripan. Berkat kerja kerasnya, Medang Kamulan mencapai kejayaan dan kemakmuran. Jelang akhir hayatnya, Airlangga memutuskan untuk mundur dari pemerintahan dan menjadi pertapa dengan sebutan Resi Gentayu. Airlangga akhirnya wafat pada tahun 1049 M.
Seharusnya Pewaris tahta kerajaan Medang Kamulan adalah seorang putri yaitu Sri Sanggramawijaya yang lahir dari seorang permaisuri. Akan tetapi karena memilih menjadi pertapa, kekuasaan beralih pada putra Airlangga yang lahir dari selir. Agar tidak terjadi perang saudara, Medang Kamulan dibagi menjadi dua yaitu kerajaan Jenggala dengan ibu kota Kahuripan, dan kerajaan Kediri (Panjalu) dengan ibu kota Dhaha. Tetapi usaha tersebut mengalami kegagalan. Hal ini dapat terlihat hingga abad ke 12, dimana Kerajaan Kediri tetap menjadi kerajaan yang megah dan makmur namun tetap tidak damai sepenuhnya dikarenakan dibayangi Jenggala yang berada dalam posisi yang lebih lemah. Hal itu mengakibatkan kondisi gelap, penuh kemunafikan dan pembunuhan berlangsung terhadap pangeran dan raja-raja antar kedua negara tersebut. Namun pertikaian ini berakhir dengan kekalahan yang dialami oleh jenggala, dan kerajaan kembali dipersatukan di bawah kekuasaan Kerajaan Kediri.

D.       Raja-Raja yang Pernah Memerintah Kediri
Sistem pemerintahan kerajaan Kediri terjadi beberapa kali pergantian kekuasaan, Berikut adalah nama-nama raja yang pernah memerintah dan berkuasa di Kerajaan Kediri:

·      Shri Jayawarsa Digjaya Shastraprabhu merupakan raja pertama yang memerintah kerajaan Kediri dengan prasastinya yang berangka tahun 1104. Ia menamakan dirinya sebagai titisan Wisnu.
·      Kameshwara merupakan raja ke-dua kerajaan Kediri yang bergelar Sri Maharajarake Sirikan Shri Kameshwara Sakalabhuwanatushtikarana Sarwwaniwaryyawiryya Parakrama Digjayottunggadewa (1115 – 1130). Lancana kerajaanya adalah tengkorak yang bertaring disebut Candrakapala. Selama masa pemerintahannya Mpu Darmaja telah mengubah kitab samaradana. Dalam kitab ini sang raja di puji–puji sebagai titisan dewa Kama, dan ibukotanya yang keindahannya dikagumi oleh seluruh dunia bernama Dahana. Permaisurinya bernama Shri Kirana, yang berasal dari Janggala.
·      Jayabaya merupakan raja kediri ketiga yang digelari Sri Maharaja Sri Kroncarryadipa Handabhuwanapalaka Parakramanindita Digjayotunggadewanama Shri Gandra. Raja Kediri paling tersohor adalah Prabu Jayabaya. Dibawah pemerintahannya Kediri berhasil mencapai kejayaan. Keahlian sebagai pemimpin politik yang ulung Jayabaya termasyur dengan ramalan-ramalannya. Ramalan–ramalan itu dikumpulkan dalam satu kitab yang berjudul jongko Joyoboyo. Dukungan spiritual dan material dari Prabu Jayabaya dan hal budaya dan kesusastraan tidak tanggung–tanggung. Sikap merakyat dan visinya yang jauh kedepan telah menjadikan prabu Jayabaya layak untuk dikenang.
·      Prabu Sarwaswera dikenal sebagai raja yang taat beragama dan berbudaya. Prabu Sarwaswera memegang teguh prinsip tat wam asi yang artinya Dikaulah itu, dikaulah (semua) itu, semua makhluk adalah engkau. Tujuan hidup manusia menurut prabu Sarwaswera yang terakhir adalah mooksa, yaitu pemanunggalan jiwatma dengan paramatma. Jalan yang benar adalah sesuatu yang menuju kearah kesatuan, segala sesuatu yang menghalangi kesatuan adalah tidak benar.
·      Prabu Kroncharyadipa. Namanya yang memiliki arti benteng kebenaran, sang prabu memang senantiasa berbuat adil pada masyarakatnya. Sebagai pemeluk agama yang taat mengendalikan diri dari pemerintahannya dengan prinsip sad kama murka, yaitu enam macam musuh dalam diri manusia. Keenam itu antara lain kroda (marah), moha (kebingungan), kama (hawa nafsu), loba (rakus), mada (mabuk), masarya (iri hati).
·      Srengga Kertajaya dikenal sebagai seorang prabu yang tak henti-hentinya bekerja keras demi bangsa dan negaranya. Masyarakat yang aman dan tentram sangat diharapkan olehnya. Prinsip kesucian prabu Srengga menurut para dalang wayang dilukiskan oleh prapanca.
Pemerintahan Kertajaya
Kertajaya merupakan raja terakhir pada masa Kerajaan Kediri. Kertajaya adalah raja yang mulia serta sangat peduli dengan rakyatnya. Kertajaya dikenal dengan catur marganya yang memiliki arti empat jalan yaitu darma, arta, kama, moksa.

E.       Kehidupan Sosial Masyarakat Kerajaan Kediri

Jika dilihat dari kehidupan sosial masyarakat Kediri pada masa itu bisa dibilang cukup baik karena kesejahteraan rakyat pada saat itu bisa dibilang meningkat, masyarakat hidup dengan tenang, hal ini bisa dilihat dari rumah-rumah rakyatnya yang cukup baik, bersih, rapi, dan berlantaikan ubin yang berwarna kuning dan hijau serta orang-orang Kediri telah memakai kain sampai di bawah lutut. Dengan kehidupan masyarakatnya yang aman dan damai maka seni dapat berkembang antara lain kesusastraan yang paling maju adalah seni sastra. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya hasil sastra yang dapat Anda ketahui sampai sekarang.
Hasil sastra tersebut, selain seperti yang telah dijelaskan pada uraian materi sebelumnya juga masih banyak kitab sastra yang lain yaitu seperti kitab Hariwangsa dan Gatotkacasraya yang ditulis oleh Mpu Panuluh pada masa Jayabaya, kitab Simaradahana karya Mpu Darmaja, kitab Lubdaka dan Wertasancaya karya Mpu Tan Akung, kitab Kresnayana karya Mpu Triguna dan kitab Sumanasantaka karya Mpu Monaguna. Kesemuanya itu dihasilkan pada masa pemerintahan Kameswara.
Penemuan Situs Tondowongso pada awal tahun 2007, yang diyakini sebagai peninggalan Kerajaan Kediri diharapkan dapat membantu memberikan lebih banyak informasi tentang kerajaan tersebut. Beberapa arca kuno peninggalan Kerajaan Kediri. Arca yang ditemukan di desa Gayam, Kediri itu tergolong langka karena untuk pertama kalinya ditemukan patung Dewa Syiwa Catur Muka atau bermuka empat.

Kehidupan sosial pada zaman Kerajaan Kediri dapat kita lihat dalam kitab Ling-Wai-Tai-Ta yang disusun oleh Chou Ku-Fei pada tahun 1178 M. Dalam Kitab tersebut menyatakan bahwa masyarakat Kediri menggunakan kain sampai bawah lutut dan rambutnya diurai. Rumah masyarakatnya rata-rata sangatlah bersih dan rapi. Lantainya tebuat dari ubin yang berwarna kuning dan hijau. Pemerintahannya sangatlah memerhatikan keadaan masyarakatnya sehingga pertanian, peternakan, dan perdagangan mengalami kemajuan yang cukup pesat.

Kerajaan Kediri berdiri dari pembagian Kerajaan Mataram oleh Raja Airlangga (1000-1049). Pemecahan ini dimaksudkan agar tidak terjadi perselisihan di antara anak-anak selirnya. Belum ada bukti yang jelas bagaimana kerajaan tersebut dipecah dan menjadi beberapa bagian. Dalam babad dikatakan bahwa kerajaan dibagi menjadi empat atau lima bagian. Tetapi dalam perkembangannya hanya ada dua kerajaan yang sering disebut, yaitu Kediri (Pangjalu) dan Jenggala. Samarawijaya sebagai pewaris sah kerajaan mendapat ibukota lama, yaitu Dahanaputra, dan nama kerajaannya diubah menjadi Pangjalu atau dikenal juga sebagai Kerajaan Kediri.

F.       Karya Sastra dan Prasasti Pada Zaman Kerajaan Kediri

Prasasti pada Jaman Kerajaan Kadiri diantaranya adalah:

a.Prasasti Banjaran yang berangka tahun 1052 M, Menjelaskan kemenangan Kerajaan Kediri atas Jenggala

b. Prasasti Hantang tahun 1135 atau 1052 M
Menjelaskan Kerajaan Kediri pada masa Raja Jayabaya. Pada prasasti ini terdapat semboyan Panjalu Jayati yang memiliki arti Kediri Menang. Prasasti ini di keluarkan sebagai piagam pengesahan anugerah untuk penduduk Desa Ngantang yang setia pada Kediri selama perang dengan Jenggala. Dan dari Prasasti tersebut dapat di ketahui jika Raja Jayabaya adalah raja yang berhasil mengalahkan Janggala dan mempersatukannya kembali dengan Kediri.

Seni sastra mendapat banyak perhatian pada zaman Kerajaan Kediri. Pada tahun 1157 Kakawin Bharatayuddha ditulis oleh Mpu Sedah dan diselesaikan oleh Mpu Panuluh. Kitab ini bersumber dari Mahabharata yang berisi kemenangan Pandawa atas Korawa, sebagai kiasan kemenangan Sri Jayabhaya atas Janggala.
Selain itu, Mpu Panuluh juga menulis Kakawin Hariwangsa dan Ghatotkachasraya. Terdapat pula pujangga zaman pemerintahan Sri Kameswara bernama Mpu Dharmaja yang menulis Kakawin Smaradahana. Kemudian pada zaman pemerintahan Kertajaya terdapat pujangga bernama Mpu Monaguna yang menulis Sumanasantaka dan Mpu Triguna yang menulis Kresnayana.
Di samping kitab sastra maupun prasasti di atas, juga ditemukan berita China yang banyak memberikan gambaran tentang kehidupan masyarakat dan pemerintahan Kediri yang tidak ditemukan dari sumber yang lain. Berita Cina tersebut disusun melalui kitab yang berjudul Ling-mai-tai-ta yang ditulis oleh Cho-ku-Fei tahun 1178 M dan kitab Chu-Fan-Chi yang ditulis oleh Chau-Ju-Kua tahun 1225 M.

G.       Kondisi Ekonomi Pada Zaman Kerajaan Kediri

Perekonomian Kediri bersumber atas usaha perdagangan, peternakan, dan pertanian. Kediri terkenal sebagai penghasil beras, kapas dan ulat sutra. Dengan demikian dipandang dari aspek ekonomi, kerajaan Kediri cukup makmur. Hal ini terlihat dari kemampuan kerajaan memberikan penghasilan tetap kepada para pegawainya dibayar dengan hasil bumi. Keterangan ini diperoleh berdasarkan kitab Chi-Fan-Chi dan kitab Ling-wai-tai-ta.

H.       Runtuhnya Kerajaan Kediri

Kerajaan Kediri runtuh dikarenakan pada masa pemerintahan Kertajaya, dan dikisahkan dalam Pararaton dan Nagarakretagama. Pada masa itu kertajaya (tahun 1222) mengalami pertentangan dengan kaum Brahmana. Kaum Brahmana menggangap Kertajaya telah melanggar agama dan memaksa meyembahnya sebagai dewa. Kemudian kaum Brahmana meminta perlindungan Ken Arok, akuwu Tumapel. Kebetulan Ken Arok juga bercita-cita memerdekakan Tumapel yang merupakan daerah bawahan Kadiri.
Perang antara Kerajaan Kediri dan Tumapel terjadi dekat desa Ganter. Dalam peperangan tersebut Ken Arok berhasil mengalahkan Kertajaya, pada masa itu menandai berakhirnya masa kejayaan kerajaan Kediri. yang sejak saat itu kemudian kediri menjadi bawahan Tumapel atau Singoasari.
Setelah Ken Arok mengalahkan Kertajaya, Kerajaan kediri menjadi suatu wilayah dibawah kekuasaan Singosari. Ken Arok mengangkat Jayasabha, putra Kertajaya sebagai bupati kerajaan kediri. Pada tahun 1258 Jayasabha digantikan oleh putranya yang bernama Sastrajaya. Pada tahun 1271 Sastrajaya digantikan putranya, yang bernama Jayakatwang. Jayakatwang memberontak terhadap Kerajaan Singosari yang dipimpin oleh Kertanegara, karena dendam masa lalu yang mana leluhurnya Kertajaya dikalahkan oleh Ken Arok. Setelah berhasil membunuh Kertanegara, Jayakatwang membangun kembali Kerajaan Kadiri, namun hanya bertahan selama satu tahun dikarenakan serangan gabungan yang dilancarkan oleh pasukan Mongol dan pasukan menantu Kertanegara, Raden Wijaya.




BAB II
KERAJAAN SINGASARI



Kerajaan Singasari adalah sebuah kerajaan Hindu Buddha di Jawa Timur yang didirikan oleh Ken Arok pada tahun 1222 M. Lokasi kerajaan ini sekarang diperkirakan di daerah Singosari, Malang. Kerajaan Singasari hanya sempat bertahan 70 tahun sebelum mengalami keruntuhan. Kerajaan ini beribu kota di Tumapel yang terletak di kawasan bernama Kutaraja. Pada awalnya, Tumapel hanyalah sebuah wilayah kabupaten yang berada dibawah kekuasaan Kerajaan Kadiri dengan bupati bernama Tunggul Ametung. Tunggul Ametung dibunuh oleh Ken Arok yang merupakan pengawalnya.
Keberadaan Kerajaan Singosari dibuktikan melalui candi-candi yang banyak ditemukan di Jawa Timur yaitu daerah Singosari sampai Malang, juga melalui kitab sastra peninggalan zaman Majapahit yang berjudul Negarakertagama karangan Mpu Prapanca yang menjelaskan tentang raja-raja yang memerintah di Singosari serta kitab Pararaton yang juga menceritakan riwayat Ken Arok yang penuh keajaiban. Kitab Pararaton isinya sebagian besar adalah mitos atau dongeng tetapi dari kitab Pararatonlah asal usul Ken Arok menjadi raja dapat diketahui. Sebelum menjadi raja, Ken Arok berkedudukan sebagai Akuwu (Bupati) di Tumapel menggantikan Tunggul Ametung yang dibunuhnya, karena tertarik pada Ken Dedes istri Tunggul Ametung. Selanjutnya ia berkeinginan melepaskan Tumapel dari kekuasaan kerajaan Kadiri yang diperintah oleh Kertajaya. Keinginannya terpenuhi setelah kaum Brahmana Kadiri meminta perlindungannya. Dengan alasan tersebut, maka tahun 1222 M /1144 C Ken Arok menyerang Kediri, sehingga Kertajaya mengalami kekalahan pada pertempuran di desa Ganter. Ken Arok yang mengangkat dirinya sebagai raja Tumapel bergelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi.

A.    SISTEM PEMERINTAHAN KERAJAAN SINGASARI

Ada dua versi yang menyebutkan silsilah kerajaan Singasari alias Tumapel ini. Versi pertama adalah versi Pararaton yang informasinya didapat dari Prasasti Kudadu. Pararaton menyebutkan Ken Arok adalah pendiri Kerajaan Singasari yang digantikan oleh Anusapati (1247–1249 M). Anusapati diganti oleh Tohjaya (1249–1250 M), yang diteruskan oleh Ranggawuni alias Wisnuwardhana (1250–1272 M). Terakhir adalah Kertanegara yang memerintah sejak 1272 hingga 1292 M. Sementara pada versi Negarakretagama, raja pertama Kerajaan Singasari adalah Rangga Rajasa Sang Girinathapura (1222–1227 M). Selanjutnya adalah Anusapati, yang dilanjutkan Wisnuwardhana (1248–1254 M). Terakhir adalah Kertanagara (1254–1292 M). Data ini didapat dari prasasti Mula Malurung.

1.  Ken Arok (1222–1227 M)
      Pendiri Kerajaan Singasari adalah Ken Arok yang sekaligus juga menjadi Raja Singasari yang pertama dengan gelar Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabumi. Munculnya Ken Arok sebagai raja pertama Singasari menandai munculnya suatu dinasti baru, yakni Dinasti Rajasa (Rajasawangsa) atau Girindra (Girindrawangsa). Ken Arok hanya memerintah selama lima tahun (1222–1227 M). Pada tahun 1227 M, Ken Arok dibunuh oleh seorang suruhan Anusapati (anak tiri Ken Arok). Ken Arok dimakamkan di Kegenengan dalam bangunan Siwa–Buddha.

2.        Anusapati (1227–1248 M)
Dengan meninggalnya Ken Arok maka takhta Kerajaan Singasari jatuh ke tangan Anusapati. Dalam jangka waktu pemerintahaannya yang lama, Anusapati tidak banyak melakukan pembaharuan-pembaharuan karena larut dengan kesenangannya menyabung ayam. Peristiwa kematian Ken Arok akhirnya terbongkar dan sampai juga ke Tohjoyo (putra Ken Arok dengan Ken Umang). Tohjoyo mengetahui bahwa Anusapati gemar menyabung ayam sehingga diundangnya Anusapati ke Gedong Jiwa (tempat kediamanan Tohjoyo) untuk mengadakan pesta sabung ayam. Pada saat Anusapati asyik menyaksikan aduan ayamnya, secara tiba-tiba Tohjoyo menyabut keris buatan Empu Gandring yang dibawanya dan langsung menusuk Anusapati. Dengan demikian, meninggallah Anusapati yang didharmakan di Candi Kidal.

3.        Tohjoyo (1248 M)
Dengan meninggalnya Anusapati maka tahta Kerajaan Singasari dipegang oleh Tohjoyo. Namun, Tohjoyo memerintah Kerajaan Singasari tidak lama sebab anak Anusapati yang bernama Ranggawuni berusaha membalas kematian ayahnya. Dengan bantuan Mahesa Cempaka dan para pengikutnya, Ranggawuni berhasil menggulingkan Tohjoyo dan kemudian menduduki singgasana.

4.        Ranggawuni (1248–1268 M)
Ranggawuni naik takhta Kerajaan Singasari pada tahun 1248 M dengan gelar Sri Jaya Wisnuwardana oleh Mahesa Cempaka (anak dari Mahesa Wongateleng) yang diberi kedudukan sebagai ratu angabhaya dengan gelar Narasinghamurti. Ppemerintahan Ranggawuni membawa ketenteraman dan kesejahteran rakyat Singasari. Pada tahun 1254 M Wisnuwardana mengangkat putranya yang bernama Kertanegara sebagai yuwaraja (raja muda) dengan maksud mempersiapkannya menjadi raja besar di Kerajaan Singasari. Pada tahun 1268 Wisnuwardanameninggal dunia dan didharmakan di Jajaghu atau Candi Jago sebagai Buddha Amogapasa dan di Candi Waleri sebagai Siwa.

5.        Kertanegara (1268-1292 M)
Kertanegara adalah Raja Singasari terakhir dan terbesar karena mempunyai cita-cita untuk menyatukan seluruh Nusantara. Ia naik takhta pada tahun 1268 dengan gelar Sri Maharajadiraja Sri Kertanegara. Dalam pemerintahannya, ia dibantu oleh tiga orang mahamentri, yaitu mahamentri i hino, mahamentri i halu, dan mahamenteri i sirikan. Untuk dapat mewujudkan gagasan penyatuan Nusantara, ia mengganti pejabat-pejabat yang kolot dengan yang baru, seperti Patih Raganata digantikan oleh Patih Aragani. Banyak Wide dijadikan Bupati di Sumenep (Madura) dengan gelar Aria Wiaraja. Setelah Jawa dapat diselesaikan, kemudian perhatian ditujukan ke daerah lain. Kertanegara mengirimkan utusan ke Melayu yang dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu 1275 yang berhasil menguasai Kerajaan Melayu. Hal ini ditandai dengan pengirimkan Arca Amoghapasa ke Dharmasraya atas perintah Raja Kertanegara.
Selain menguasai Melayu, Singasari juga menaklukan Pahang, Sunda, Bali, Bakulapura (Kalimantan Barat), dan Gurun (Maluku). Kertanegara juga menjalin hubungan persahabatan dengan raja Champa,dengan tujuan untuk menahan perluasaan kekuasaan Kubilai Khan dari Dinasti Mongol. Kubilai Khan menuntut raja-raja di daerah selatan termasuk Indonesia mengakuinya sebagai yang dipertuan. Kertanegara menolak dengan melukai muka utusannya yang bernama Mengki. Tindakan Kertanegara ini membuat Kubilai Khan marah besar dan bermaksud menghukumnya dengan mengirimkan pasukannya ke Jawa. Mengetahui sebagian besar pasukan Singasari dikirim untuk menghadapi serangan Mongol maka Jayakatwang (Kediri) menggunakan kesempatan untuk menyerangnya. Serangan dilancarakan dari dua arah, yakni dari arah utara merupakan pasukan pancingan dan dari arah selatan merupakan pasukan inti.
Pasukan Kediri dari arah selatan dipimpin langsung oleh Jayakatwang dan berhasil masuk istana dan menemukan Kertanagera berpesta pora dengan para pembesar istana. Kertanaga beserta pembesar-pembesar istana tewas dalam serangan tersebut. Ardharaja berbalik memihak kepada ayahnya (Jayakatwang), sedangkan Raden Wijaya berhasil menyelamatkan diri dan menuju Madura dengan maksud minta perlindungan dan bantuan kepada Aria Wiraraja. Atas bantuan Aria Wiraraja, Raden Wijaya mendapat pengampunan dan mengabdi kepada Jayakatwang. Raden Wijaya diberi sebidang tanah yang bernama Tanah Tarik oleh Jayakatwang untuk ditempati. Dengan gugurnya Kertanegara maka Kerajaan Singasari dikuasai oleh Jayakatwang. Ini berarti berakhirnya kekuasan Kerajaan Singasari. Sesuai dengan agama yang dianutnya, Kertanegara kemudian didharmakan sebagai Siwa––Buddha (Bairawa) di Candi Singasari. Arca perwujudannya dikenal dengan nama Joko Dolog yang sekarang berada di Taman Simpang, Surabaya.

B.       KEHIDUPAN DI KERAJAAN SINGASARI
Dari segi sosial, kehidupan masyarakat Singasari mengalami masa naik turun. Ketika Ken Arok menjadi Akuwu di Tumapel, dia berusaha meningkatkan kehidupan masyarakatnya. Banyak daerah-daerah yang bergabung dengan Tumapel. Namun pada pemerintahan Anusapati, kehidupan sosial masyarakat kurang mendapat perhatian karena ia larut dalam kegemarannya menyabung ayam. Pada masa Wisnuwardhana kehidupan sosial masyarakatnya mulai diatur rapi. Dan pada masa Kertanegara, ia meningkatkan taraf kehidupan masyarakatnya. Upaya yang ditempuh Raja Kertanegara dapat dilihat dari pelaksanaan politik dalam negeri dan luar negeri.

Politik Dalam Negeri:
1.     Mengadakan pergeseran pembantu-pembantunya seperti Mahapatih Raganata digantikan oleh Aragani.
2.     Berbuat baik terhadap lawan-lawan politiknya seperti mengangkat putra Jayakatwang (Raja Kediri) yang bernama Ardharaja menjadi menantunya.
3.     Memperkuat angkatan perang.
Politik Luar Negeri:
1.     Melaksanakan Ekspedisi Pamalayu untuk menguasai Kerajaan melayu serta melemahkan posisi Kerajaan Sriwijaya di Selat Malaka.
2.     Menguasai Bali.
3.     Menguasai Jawa Barat.
4.     Menguasai Malaka dan Kalimantan.
Berdasarkan segi budaya, ditemukan candi-candi dan patung-patung diantaranya candi Kidal, candi Jago, dan candi Singasari. Sedangkan patung-patung yang ditemukan adalah patung Ken Dedes sebagai Dewa Prajnaparamita lambing kesempurnaan ilmu, patung Kertanegara dalam wujud patung Joko Dolog, dan patung Amoghapasa juga merupakan perwujudan Kertanegara (kedua patung kertanegara baik patung Joko Dolog maupun Amoghapasa menyatakan bahwa Kertanegara menganut agama Buddha beraliran Tantrayana).

C.       RUNTUHNYA KERAJAAN SINGASARI
Sebagai sebuah kerajaan, perjalanan kerajaan Singasari bisa dikatakan berlangsung singkat. Hal ini terkait dengan adanya sengketa yang terjadi dilingkup istana kerajaan yang kental dengan nuansa perebutan kekuasaan. Pada saat itu Kerajaan Singasari sibuk mengirimkan angkatan perangnya ke luar Jawa. Akhirnya Kerajaan Singasari mengalami keropos di bagian dalam. Pada tahun 1292 terjadi pemberontakan Jayakatwang bupati Gelang-Gelang, yang merupakan sepupu, sekaligus ipar, sekaligus besan dari Kertanegara sendiri. Dalam serangan itu Kertanegara mati terbunuh. Setelah runtuhnya Singasari, Jayakatwang menjadi raja dan membangun ibu kota baru di Kediri. Riwayat Kerajaan Tumapel-Singasari pun berakhir.






BAB III
ANALISIS HUBUNGAN KERAJAAN KEDIRI DAN SINGASARI



    Menganalisis Bab I dan Bab II dapat dilihat hubungan yang erat antara Kerajaan Kediri dan Singasari yang di dominasi dengan peperangan dan balas dendam. Berdirinya Singasari sendiri bermula dari Ken Arok yang membunuh bupati Tumapel (Tunggul Ametung) karena tertarik pada Ken Dedes istri Tunggul.

Pada masa itu Kertajaya (tahun 1222) mengalami pertentangan dengan kaum Brahmana. Kaum Brahmana menggangap Kertajaya telah melanggar agama dan memaksa meyembahnya sebagai dewa. Kemudian kaum Brahmana meminta perlindungan Ken Arok, akuwu Tumapel. Kebetulan Ken Arok juga bercita-cita memerdekakan Tumapel yang merupakan daerah bawahan Kadiri.

Perang antara Kerajaan Kediri dan Tumapel terjadi dekat desa Ganter. Dalam peperangan tersebut Ken Arok berhasil mengalahkan Kertajaya, pada masa itu menandai berakhirnya masa kejayaan kerajaan Kediri. yang sejak saat itu kemudian Kediri menjadi bawahan Tumapel atau Singoasari.

Pada masa Kertanegara hubungan Kediri dan Singasari membaik. Kertanegara membuat upaya dalam rangka meningkatkan taraf kehidupan masyarakatnya dan salah satu upayanya yaitu berbuat baik terhadap lawan-lawan politiknya seperti mengangkat putra Jayakatwang (Raja Kediri) yang bernama Ardharaja menjadi menantunya.

Akan tetapi pada tahun 1292 terjadi pemberontakan Jayakatwang bupati Gelang-Gelang, yang merupakan sepupu, sekaligus ipar, sekaligus besan dari Kertanegara sendiri. Dalam serangan itu Kertanegara mati terbunuh. Setelah runtuhnya Singasari, Jayakatwang menjadi raja dan membangun ibu kota baru di Kediri. Alasan Jayakatwang memberontak terhadap Kerajaan Singosari yang dipimpin oleh Kertanegara, karena dendam masa lalu yang mana leluhurnya Kertajaya dikalahkan oleh Ken Arok. Setelah berhasil membunuh Kertanegara, Jayakatwang membangun kembali Kerajaan Kadiri, namun hanya bertahan selama satu tahun dikarenakan serangan gabungan yang dilancarkan oleh pasukan Mongol dan pasukan menantu Kertanegara, Raden Wijaya.

Kedua kerajaan tersebut pun runtuh dengan alasan yang sama, yaitu serangan balas dendam masa lalu. 


Sekian,
Tertanda : Wisik Candra Padmasari

Komentar

Postingan Populer