Setiap Tempat Punya Cerita : Kopsis (Cukup Satu Hari)

Kopsis, Cukup Satu Hari.
Oleh : Wisik Candra Padmasari

          Tik tok tik tok tik tok.
          Aku menguap berulang kali sembari menatap jarum jam yang terus berdetik. Sudah berkali-kali mataku mengatup karena mulai lelah memandangi jam dinding yang berdetak-detak itu. Sejak dua puluh menit terakhir, konsentrasiku hanya tertuju pada jarum jam yang suaranya menjadi lebih keras dibandingkan suara guruku yang sedang sibuk menjelaskan di depan. Mau bagaimana lagi? Perutku lapar. Otot-otot semangat belajarku sudah putus sejak beberapa menit yang lalu. Benar-benar tak ada minat mengikuti jam kedua di pelajaran ini. Terlebih lagi, siang ini terasa sangat terik. Semangat dan konsentrasiku menguap dalam suhu yang panas ini seiring dengan meningkatnya rasa lapar yang perutku rasakan.
          “Sen, aku lapar,” Teman sebangkuku berbisik dengan ekspresi yang tak jauh berbeda denganku. Matanya menatapku memelas seperti memohon untuk diberi makan.
          “Sabar, tinggal beberapa menit lagi,” jawabku.
          “Kopsis atau kantin?“
          “Kopsis, yang deket,” jawabku lagi kemudian mengambil tutup bolpointku yang jatuh. Tinggal beberapa menit lagi, bel istirahat berbunyi. Aku meraba saku rokku, menyiapkan uang sebelum berangkat ke kopsis.
          Beberapa menit setelah itu, bel istirahat pun berbunyi. Usai menutup buku-bukuku, segera aku berlari menuju kopsis. Dengan setengah berlari aku pergi meninggalkan kelasku.
          “Senja, tunggu!” Langkahku terhenti setelah mendengar temanku, Valin, memanggil. Oh, sungguh! Tidak bisakah dia menambah frekuensi langkah kakinya? Asam – asam klorida di perutku sudah tak bisa diajak berkompromi!
          “Cepet!” perintahku padanya. “Keburu kuantitas fermentasi kacang kedelai gorengku hilang, nih!”
          Tanpa memakan waktu lama, kami pun sampai di depan Kopsis. Namun, langkahku tiba-tiba terhenti. Kerumunan siswa yang saling berebut makanan yang tersedia di rak-rak Kopsis menghentikan langkahku, melebarkan kelopak mataku untuk memastikan apa yang aku lihat tidak salah. Bagaimana caranya memenuhi keinginan perutku yang lapar ini? Jalan untuk memenuhi keinginan ini begitu sempit. Sangat sempit hingga tak ada celah untuk bergabung ke kerumunan itu. Kemudian, aku mendengar suara yang memanggil-manggil namaku. Kulihat Valin tengah melambai di tengah-tengah kerumunan. “Senja! Lewat sini!” Begitu katanya.
          Segera, aku menggapai tangan Valin yang membantuku masuk ke tengah-tengah kerumunan tersebut.  Sesak! Valin mencoba menarikku yang terjepit di pintu kerumunan. Namun, sekuat apapun ia mencoba, hasilnya tetap sia-sia. Tanganku justru terasa sakit karena ditarik begitu keras. Dan kerumunan itupun mengalahkan kami. Aku dan Valin terpisah.

          Bagaikan perahu di tengah laut lepas, tubuhku terombang-ambing mengikuti arah desakannya. Namun, perutku yang berbunyi mengingatkanku untuk segera menuju stand makanan yang kuinginkan. Dengan sisa tenaga yang kumiliki, aku berhasil berdiri di depan stand itu. Aku tak peduli dengan dorongan-dorongan dari kerumunan lagi. Terlebih, fermentasi kacang kedelai goreng alias tempe goreng  yang ada di depanku hanya tinggal sebuah. Akupun mencoba untuk meraih tempe itu.
          Tepat saat tangan kananku terangkat, punggungku merasa seperti ada yang menyelimuti. Bukan benar-benar menyelimuti, hanya saja jaket almamater yang seseorang kenakan ini terasa seakan-akan menyelimuti sebagian punggungku yang tergolong kecil. Sekilas kulihat ujung rel-sreting jaketnya yang terbuka melalui bawah tangan kananku yang sedikit terangkat. Namun, perhatianku kembali tertuju pada makanan yang tinggal satu-satunya itu. Posisiku yang belum benar-benar di depan stand membuatku susah meraihnya hingga aku harus maju selangkah melewati adik kelasku yang usai mengambil makanan yang dia inginkan.
          Setelah berhasil berdiri tepat di depan stand, segera kuraih tempe itu. Namun, aku merasa ada yang aneh. Di atas bungkus plastik tempe itu, tak hanya tangan kananku yang berada disana, tapi juga ada tangan kanan yang lain. Sontak, aku menoleh kearah si pemilik tangan yang berdiri di sebelah kananku dan bermaksud untuk memarahinya.
          Namun, saat melihat dirinya dari jarak kira-kira 10 phi sentimeter, kurasakan tubuhku mendapat tekanan 100 Pascal dari jantungku, seakan-akan ingin seperti lisisnya sel oleh virus. Kata kata yang terpatri di pikiranku menghilang entah kemana. Entah mengapa tatapan itu terasa sangat nyaman meski terkesan dingin. Senyumnya pun membuatku gugup, tapi tak membuatku lekas berpaling darinya. Entah apa yang terjadi, sesuatu yang berat terasa menahan diriku untuk dapat berlalu dari tempatku berdiri. Rasanya otak ini seperti sedang mememori sesuatu yang tidak dapat dihapus, aku tak tahu apa itu. Apakah aku sakit? Yang jelas, aku tak sedang baik-baik saja sekarang. Sudah jelas, bukannya memarahinya, aku malah membeku setelah melihatnya. Aku pasti tidak sehat!  Tersadar, dia yang membuatku membeku di tempat berhasil membawa pergi makanan yang aku nanti nantikan  sejak tadi.
“Arrgh!” Aku mengerang kesal. Sia sia aku melakukan semua ini. Siapa sih dia? Dia telah berhasil melupakan tujuan awalku dan menggagalkannya. Terpaksa aku mencari makanan lain yang cukup untuk mengganjal perutku yang mulai nakal ini.
          “Senja! Disini!” Valin memanggilku dari pintu depan kopsis. Kini aku bisa melihatnya dengan jelas. Kerumunan sudah usai karena bel masuk baru saja berbunyi. Lekas kubayar si makanan pengganti dan berlari mendekati Valin. Kami pun kembali ke kelas.
          Di kelas, otakku kembali memutar memori saat di Kopsis tadi. Wajah senior yang berhasil membekukan tubuhku tanpa disentuh dan mencuri mangsaku itu kembali tergambar di angan-anganku. Ya, Aku tahu dia senior karena pernah melihatnya mengisi SOSOR (Sosialisasi Organisasi) sewaktu MOS dulu. Meski tak setenar Dewan Pramuka yang mengisi ekstrakurikulerku sewaktu kelas satu, aku masih bisa mengenalinya. Namun sayang, aku lupa siapa namanya. Kini otakku bertanya tanya mengenai identitas lengkapnya. Siapa sih dia? batinku.
          “Apa kau baik-baik saja?”
          “Hah?” Jingga, teman yang duduk di depan mejaku, menatapku khawatir.
          “Senja, apa kau baik baik saja? Kau terlihat melamun dari tadi.” Aku hanya menggeleng. Jingga masih menatapku.
          “Aku baik-baik saja.. Hanya..” Ucapanku terpotong tatkala Bu Eja, guru sejarahku, berdiri dan menulis sesuatu di papan tulis sambil menginstruksikan untuk membuka halaman sembilan belas di buku LKS kami.
          “Hanya, Apa?” tanya Jingga usai melihat Bu Eja keluar dari kelas.
          “Begini..,” Aku pun menceritakan semua kejadian yang kualami saat berada di Kopsis tadi. Jingga hanya tersenyum saat mendengarkan penjelasanku. Matanya menatap mejaku dan sesekali pipiku. Aku tidak merona, ‘kan?! Batinku meyakinkan.
          “Siapa, sih? Aku jadi penasaran,” tutur Jingga. Aku kembali bercerita.
“Kau tahu namanya, ‘kan?” tanya Jingga usai aku selesai bercerita. Aku menggeleng dan mengatakan kalau dia kurang terkenal di sekolah.
          “Tapi, kau menyukainya, ‘kan?” tanyanya lagi. Aku hanya diam. “Wah, akhirnya seorang Senja jatuh cinta juga!” Aku hanya terkekeh. Masa yang seperti itu disebut cinta, sih?
          “Makhluk dingin macam apa yang mampu membuat seorang Senja membeku tanpa disentuh, ya? Hm.. Sihirnya pasti sangat kuat!” sahut Valin yang ternyata menguping pembicaraan kami.
          “Hei, dia bukan penyihir sepertimu, loh ya! Haha,” jawabku sekenanya sambil bersiap menerima serbuan Valin yang bertubi-tubi. Sampai jam terakhir, otakku tak henti-hentinya memutar kejadian tadi. Aku juga berulang kali mencoba mengingat namanya. Namun tetap saja gagal.
***
          Bel pulang telah berbunyi, namun aku tak langsung pulang ke rumah lantaran jemputanku tak kunjung datang. Ayahku bilang kalau yang menjemputku hari ini adalah kakakku. Dia sedang liburan semester. Kakak sedang dalam perjalanan kemari. Makanya, aku masih berdiri di latar kelas, mengamati siswa siswi sekolahku yang sibuk dengan ekstrakurikuler di lapangan.
          “Kenapa belum pulang? Nunggu jemputan?” tanya Valin yang baru datang entah dari mana. Aku hanya mengangguk. Kemudian, perhatianku kembali menuju ke lapangan.
          “Wah, ada kelas dua belas! Sepertinya mereka lagi refreshing.” Aku hanya mengangguki semua yang Valin katakan. Menjelang UN, mereka harus belajar tiap saat. Itu pasti sangat membosankan! Mereka tampak begitu bersemangat saat memukul bola voly itu seperti sudah bertahun-tahun tidak bermain.
          “Oiya, Sen, aku pinjam HP-mu boleh? Aku mau minta jemput Ayahku,” tutur Valin. Kuberikan HP-ku pada Valing yang tangannya terulur. Segera, ia menulis pesan untuk Ayahnya.
          Sementara itu, perhatianku kembali pada lapangan. Kakak-kakak kelas dua belas yang bermain bola voly usai jam tambahan tampak bersemangat sekali seolah-olah baru saja lepas dari beban yang menggunung. Namun, pandanganku tiba-tiba teralihkan oleh pemandangan yang mengusik pikiranku seharian ini. Pemandangan itu tak lain adalah seorang senior yang aku temui di Kopsis yang sedang duduk dipinggir lapangan sambil menikmati permainan bersama teman-temannya. Tiba – tiba aku teringat mengenai Valin yang tahu banyak mengenai kakak kakak kelas dua belas. Ini adalah saat yang tepat untuk menunjukkan pada Valin sosok senior yang aku maksud. Tapi, tunggu! Bagaimana jika Valin justru kenal dekat dengannya? Bisa gawat kalau Valin mengatakan yang tidak tidak mengenaiku padanya!
          Aku gelisah dan mulai memikirkan cara yang tepat. Valin tidak tahu kalau aku sedang gelisah. Dia masih sibuk mencari sinyal, menunggu balasan dari Ayahnya.
“Ehm, Valin,” panggilku ragu-ragu. Valin menoleh.
“Ada apa?” tanyanya sembari datang mendekatiku. Saat ia berdiri sejajar denganku, aku mulai bertanya nama nama kakak kelas yang sedang bermain Voly maupun yang hanya sekedar duduk di pinggir lapangan. Valin menjawabnya satu-persatu. Hampir semua ia tahu nama-nama mereka. Sekarang, aku mulai mengerucut ke arah tujuanku. Menanyakan nama kakak berjaket almamater yang sedang duduk melihat teman-temannya bermain di pinggir lapangan. Kebetulan dia satu-satunya yang mengenakan jaket tersebut.
“Kalau yang sepatu biru, siapa namanya?” tanyaku. Valin menjawab dengan cepat disertai sedikit informasi mengenai kakak bersepatu biru itu.
“Kalau yang pakai jaket almamater?” Akhirnya aku menanyakan hal ini juga. Jantungku berpacu tidak wajar. Ini bukan sakit jantung, ‘kan?!
“Hem,” Valin tampak berpikir. Tangan kirinya menggenggam HP-ku sambil berkacak pinggang, sementara tangan kanannya mengapit dagu diantara ibu jari dan telunjuknya seperti detektif yang ada di film – film. Melihat Valin yang tampak berpikir, aku mulai takut. Jangan jangan Valin tahu rencanaku? Aduh, gawat.
“E.. Lin, aku—“
“Aku ingat!” Tiba – tiba Valin berteriak, sukses membuatku melompat satu langkah ke belakang.  
Namanya kak Lunar. Lunar Maheswara!” seru Valin. “Dia si jenius dari XII IPA 6, Sen! Dia ketua organisasi yang diikuti si Cantik Ruby, Sen!”
Otakku mencoba mencerna. Si Cantik adalah julukan yang aku, Valin, Jingga, dan kelima siswi perempuan lain yang ada di kelasku. Kami sangat dekat, tapi aku tidak tahu kalau Ruby mengikuti organisasi yang senior itu juga ikuti.
“Ketua organisasi? Ruby?” tanyaku tak mengerti. Oh, ternyata dia punya jabatan penting di organisasi! Aku pikir dia tidak se-terkenal itu deh! Kenapa aku baru tahu?
“Eh, maksudku mantan. Sekarang sudah re-or. Tapi, meski udah nggak jadi ketua, Kak Lunar kabarnya masih deket sama Ruby,katanya lagi. Dahiku mengerut. Tunggu! Ruby dekat dengan senior itu? Sejak kapan? Kok aku nggak tahu?
Mungkin karena melihat ekspresi wajahku yang tampak tak mengerti dengan apa yang baru saja ia katakan, Valin justru melongo. Matanya tampak melebar. “Jangan bilang kamu nggak tahu! Di kelas, perempuan hanya sembilan, Sen! Masa kamu nggak tahu?” tanya Valin dengan nada tak sabar. Aku hanya menggeleng. Kulihat Valin malah tertawa. Mungkin dia menganggapku bercanda. Tapi, raut mukaku yang berubah menyadarkan Valin.
“Baiklah, akan aku beritahu,” ucapnya usai mendengus kepadaku. Kak Lunar itu mulanya kakak idola Ruby sewaktu kelas 10. Aku dan ia dulu satu kelompok. Oh, Jingga juga. Jadi, kami tahu itu. Kemudian, Ruby memilih ekskul yang kebetulan juga diikuti kak itu. Dari situlah mereka saling mengenal.”
“Ruby kita sepertinya mampu meluluhkan hatinya yang dingin. Saat aku sengaja membaca baca pesan masuk Ruby, ada pesan yang dikirim kakak itu. Meski kalimat yang dikirimkan kak Lunar tak jauh-jauh dari aura yang dimilikinya, percakapan yang mereka lakukan tetap menunjukkan kalau mereka sangat dekat dan saling menaruh perhatian. Dan kau tahu? Tebakanku benar!” tambahnya.
“Apa?” Tanyaku. Valin segera menjawabnya dengan nada yang bersemangat. Namun, hal itu justru membuat hatiku berdesir. Jawaban Valin yang terakhir cukup mengejutkanku. Kak Lunar membalas perasaannya. Ia menyukai Ruby.
***
Makan malam terasa hambar meskipun di atas piringku terdapat lauk pauk yang seharusnya sukses membangkitkan selera makanku. Alhasil, nasi dan lauk di atas piringku tak berkurang banyak. Entah pergi kemana nafsu makanku, aku merasa tak berselera. Aku memutuskan kembali ke kamar, mengerjakan PR-ku. Namun, hal itu sia-sia. Tak senomorpun berhasil kuselesaikan. Konsentrasiku buyar. Mungkin karena aku butuh refreshing. Oleh karena itu, aku beringsut duduk di samping kakakku yang sedang asik menonton film aksi kesukaannya.
“Woy!” Aku terkejut. Kulihat kakakku tengah menatapku tak suka. Aku bertanya kenapa. “Jangan main ganti chanel gitu dong! Kakak kan lagi nonton!”
“Eh?” Ternyata tanganku tanpa sadar memencet remote kontrol yang seharusnya kutaruh di meja seusai memindahkannya dari sofa yang aku duduki sewaktu aku melamun. Aku pun hanya meringis. Usai kakakku merebut remote itu, pandanganku beralih kearah jendela. Gemercik hujan sejak tadi sore masih terdengar hingga sekarang bahkan semakin keras. Musim penghujan sudah tiba. Namun pikiranku tetap tak teralihkan dari ultimatum Valin.
Tahu tahu bahuku seperti disentuh-sentuh sebuah karton yang ujungnya dibuat lancip. Aku pun menoleh, mendapati kakakku yang tengah memegang segelas popcorn yang dibelinya tadi sore. Gelas itu terbuat dari karton yang memiliki ujung-ujung yang lancip. “Mau?”
Kuambil beberapa buah berondong jagung itu. “E.. bukan popcornnya, maksudku, mau cerita?” Kakak menatapku dan meringis. Aku balas menatap kakak tak mengerti. Rasanya baru saja dia sebal, tapi sekarang? Ah sudahlah, mumpung kakak lagi baik, segera kuceritakan semua kejadian yang terjadi hari ini.
“Hm.. Masa kamu nggak tahu perasaan apa itu? Duh, berarti bener yang Valin bilang, kamu benar benar nggak peka!” seru kakak laki-lakiku itu. Aku hanya memajukan bibirku, cemberut dan melanjutkan bercerita.
Usai semua kejadian kuceritakan, aku beralih kearah kakakku yang sudah kembali fokus pada filmnya. “Kak Langit,” panggilku. Kakakku menoleh.
“Kakak pernah patah hati?”
Kak Langit tak menjawab. Ia malah tersedak dan sekarang sedang meneguk segelas penuh air putih yang sejak awal ia siapkan di depan meja. “Rasanya sakit, nggak, kak?” tanyaku lagi usai mendengar kakak mendesah. Kak Langit hanya tersenyum. Kali ini bukan senyum mengejek, melainkan senyum kasih sayang.
“Nggak, ” jawab kakak. Aku melongo. “Paling cuma kecewa.”
“Kenapa bisa nggak patah hati?” Tanyaku. Kalau kakak menjadi aku, bukankah rasanya akan sangat sakit?
“Karena aku hebat!” Kelakarnya. Mataku menatapnya datar. “Lagipula, patah hati itu terlalu berlebihan. Kalau itu bukan jodohnya ya sudah. Ikhlaskan. Allah pasti udah memilihkan yang lebih baik dan terbaik buat kita,” lanjutnya.
“Tapi ‘kan, patah hati itu manusiawi. Kalau sakitnya begini sih—“
“Kayak gitu rasanya udah sakit? Waduh, baru nggak dibalas cintanya sama manusia juga ibarat lupa sama yang lain.” Kali ini kakak menatapku remeh. Kemudian mengusap ujung kepalaku dengan lembut.
“Dengar, cinta yang seperti itu justru berbahaya, bisa membuat orang lupa sama tugas sekolah, pekerjaan, makan, minum, bahkan sama penciptanya. Oi, lebih sakit mana cinta yang nggak dibalas sama kakak kelas atau dibenci Allah karena melupakan-Nya?” Aku mengerjap. Perkataan kakak benar. Sangat benar. Kakak kembali mengatakan sesuatu yang mudah kupahami namun sarat akan nasihat.
“Nah, sekarang, mumpung belum kemaleman, kerjain gih tugasmu! Masalah yang begituan nggak usah dipikirin. Belum waktunya.” Aku mengangguk dan tersenyum kemudian berlalu ke kamar. Sebelum pergi, aku sempat mendengar kakak berkata kalau jodoh pasti datang sendiri, tapi kalau nilai A, nggak akan lelah buat kamu berlari dan mengacungkan jempol.
          Rasa gundahku sudah benar-benar hilang usai mendengar penuturan kakak yang sederhana namun bermakna. Aku rasa kakak benar, belum waktunya untukku berjalan ke arah yang lebih serius mengenai cinta itu. Aku masih punya tanggung jawab lain yang lebih penting. Segera kulupakan semua rasa itu, kemudian menyelesaikan PRku.
Jingga sempat mengirimiku SMS yang menanyakan apakah aku sudah mengetahui nama senior yang kutemui di Kopsis. Tentu saja kubalas sudah tahu. Namun aku tidak memberi tahu siapa namanya, sukses membuat Jingga kesal. Aku juga mengatakan padanya kalau Valin tahu namanya tapi tak tahu senior yang mana yang aku temui. Oh iya, aku tidak memberi tahu Jingga mengenai hubungan Ruby dan senior itu meskipun aku akhirnya tahu kalau senior itu menyukai Ruby. Aku tidak mau ikut menggangu dan mencampuri urusan mereka. Lagi pula, aku sudah mantap melupakan perasaan ini. Minimal memendamnya. Aku tidak mau lagi mempermasalahkan hal ini. Kujelaskan pada Jingga mengenai niatku ini. Jingga sepertinya paham. Ia mengatakan akan mendukung keputusanku ini. Lima menit kemudian, percakapan kami berakhir.
Cukup untuk satu hari ini, Senja.
Aku tidak mau merepotkan orang tuaku jika nilaiku buruk karena masalah seperti ini. Lebih dari itu, seharusnya aku lebih berhati hati pada cinta yang mempunyai peluang besar membutakanku. Jangan sampai hal itu membuatku lupa pada-Nya. Dan perasaan ini cukup untuk satu hari saja..
          Mungkin karena lampuku masih menyala di jam selarut ini, Kakakku mengetuk pintu kamarku dan menyuruhku untuk tidur karena besok masih harus sekolah. Aku mengangguk dan segera berjalan ke arah tempat tidurku. Sebelum tertidur, kusempatkan bersyukur karena diberi kesempatan merasakan apa yang mungkin orang orang sebut cinta meskipun hanya satu hari.
          Karena aku punya cinta yang sudah dan sedang diperjuangkan, bukan cinta yang datang hanya karena kebetulan belaka.”

Komentar

Postingan Populer