Kisah Klasikku (Cerpen)

KISAH KLASIKKU

            Anak-anak berseragam itu bercanda-ria sembari meneruskan perjalanan mereka, pulang atau belajar kelompok. Entahlah, siapa tahu mereka justru bermain dan bersenang-senang sejenak melupakan tugas-tugas sekolah mereka yang amat menumpuk. Ya, SMA memang tahun di mana tugas-tugas sekolah menumpuk dan menggunung. Meskipun tak sebanyak tugas kuliah, hehe. Otakku pun kembali memutar kembali ingatan masa itu. Mengenakan seragam putih abu-abu setiap pagi hingga sore dari senin sampai sabtu. Banyak yang tak mengira kalau kehidupanku saat itu akan terkenang karena aku berada di kelas yang hanya sebentar ‘menghuni’ di sekolah. Kelas singkat.. batinku tersenyum. Meskipun singkat, kisah klasikku di kelas itu tak kalah berharga dibanding mereka.
***
            Kelasku beranggotakan dua puluh tiga orang yang awalnya berasal dari peradaban yang berbeda-beda. Jelas.. otaknya pun berbeda-beda. Ada yang liquid, sliwer, kucel, dan lain-lain. Aku pun tak jauh berbeda. Hanya saja, otak ku bukan tipe liquid atau cair melainkan gas. Lho? Bercanda. Otakku normal kok. Masih ada cerebellum dan cerebrumnya.
            “Winandhea Aurum,” Guru fisika itu memanggil namaku, menyuruhku maju ke depan mengerjakan tugas yang ia berikan. Aku ragu-ragu mengambil spidol yang dia sodorkan. Aku belum mengerjakan PR fisikaku.
            “Psst.. Cari dulu k-nya menggunakan rumus tadi. Terus masukan ke persamaan!” Bisik temanku dari tempat duduknya. Dia adalah Vanadia, gadis berkacamata yang berambisi naik ke panggung peringkat sepuluh besar UN. Bagiku sepertinya mustahil, tapi tidak baginya. Dia yang berambisi besar itu sangat tekun dan rajin demi mewujudkan mimpinya. Meskipun begitu, dia tidak jutek dan sombong. Dia hangat dan ramah bahkan berisik.
            Hari itu, pelajaran fisika menutup jam belajarku di sekolah. Aku tak kuasa mendesah menyadari hal itu. Lega. Vektor dan skalar itu berputar-putar di otakku. Aku masih tak percaya aku bisa masuk ke kelas yang selalu membuat otakku berputar-putar. Apakah aku salah masuk kelas?
            Masalah demi masalah pun berdatangan sejak awal aku masuk ke kelas itu. Bukan hanya masalahku.. tapi juga kelasku.
            “Awas-awas.. anak elit datang!”
            Seketika mereka membentuk barisan layaknya sebuah desa yang kedatangan tamu dari kerajaan. Berbaris memberi jalan bagi kereta raja. Tapi ini bukan raja, ini kami. Anak-anak kelas antah berantah yang memiliki otak liqiud, solid, dan gas. Ups, lupa ini bukan kelas Kimia. Tapi sungguh, julukan itu sangat tidak menyenangkan. Sangat mengganggu dan mengundang hal yang tidak baik.
            “Aku tidak suka anak-anak itu!” celetuk salah satu di antara mereka. Aku tak mengenalnya, tapi aku tahu dia. Dia senior yang se-angkatan denganku. Bibir teman-temanku mengkerut masam mendengar itu. Kenapa tidak suka kami?
            Sampai di kelas, Neon menatap aku, Vana, dan Auksi. Raut wajahnya menggambarkan kalau dia heran dan penasaran.
            “Kenapa mereka tidak suka kita? Apa salah kita?”
            “Dunno,” Jawab kami bersamaan.
            “Sudut pandang mereka mungkin salah,” sahut Kr yang bernama lengkap Krypton Davion Sakti, saingan berat Vanadia. Kami mengangguk kompakan.
***
            “Mereka tak akan berhasil.. mereka angkatan gagal!”
            “Pantaskah mereka masuk ke kelas tersebut?”
            “Aku tak percaya mereka anak-anak kelas tersebut!”
            Segudang cercaan menghampiri keseharianku dan kelasku. Segudang masalah itu tak hanya berasal dari luar, tapi juga dari dalam. Kepribadian masing-masing anggota yang compare dan beragam sering memanaskan suasana setiap beradu argumen. Terlebih saat sedang rapat. Keputusan sering tak bisa dibuat karena mufakat tak kunjung ditemukan. Alhasil, kegiatan pun tak bisa langsung berjalan.
            “Terserah kalian! Aku nggak urusan! Aku nggak campur tangan!”
            Lelaki berkacamata dengan rambut cepak itu mengangkat tangannya dan menyelinap keluar setelah meluapkan kekesalannya.
            “Gery! Berhenti! Kau tidak bisa begitu!” seru Flo mencoba menghentikan Gery. “Germanium Volta!” serunya lagi. Gery menoleh.
            “Aku tidak peduli!”
            “Tapi kau kan juga anak kelas—“
            “Hentikan, Flo! Biarkan Gery melakukan sesukanya,” sahut Ag yang bernama lengkap Argentum Assasin.
            Semua ikut cemas melihat Gery yang tampak sangat marah dan kesal pada jalannya rapat ini.  Namun, itu tak berlangsung lama. Ag dan Arsen berhasil membujuk Gery hingga tercapai keputusan akhir.
***
            Aku tersenyum mengingat semua kejadian berat itu. Kejadian-kejadian yang hampir memecah kami. Tapi, kejadian rapat itu tak hanya sekali terjadi melainkan berulang. Anak muda..
            Keraguan itu menjadi masalah kami. Meyakinkan juga merupakan masalah kami. Masalah-masalah dari luar itu hanya sedikit dari sekian masalah yang ada. Masalah dari masing-masing anggota lebih sering kami alami. Ah, siapa sangka? Justru kami membuat mereka bangga. Hasilnya.. Hasilnya itu hanya penghargaan dari usaha kami.
            “Rum!”
            Aku menoleh. Di depan Cafe’ Aldnoah ini, berdiri sekelompok gadis dengan pakaian casual dihiasi kerudung-kerudung yang menawan.
            “Kalian datang!”
            Kami bersalaman dan berpelukan melepas rindu. Vana, Auksi, Nobela, dan kelima gadis lain tersenyum senang sepertiku. Mereka delapan siswi selain aku yang berada di kelas itu. Ya, kami sedang reunian.
            “Mana yang lain?” tanyaku.
            “On the way, Rum. Mereka sedang menjemput Bu Oksi, Wali kelas kita,” Jawab Bela setelah tanpa ijin menyeruput cappuccinoku.
            “Bela!”
            Dia hanya tertawa.
            “Apa  yang kau lakukan sebari menunggu kami?” tanya Vana setelah memesan.
            “Memutar kisah klasik kita, Van.”
            “Sungguh?” Aku mengangguk. “Ah, benar.. sudah tujuh tahun sejak kita meninggalkan kelas itu. Kira-kira bagaimana kabarnya, ya?”
            “Entahlah, Van. Nanti kita tanya saja pada Bu Oksi,” jawabku.
            “Aku kangen Time Machine kita. Aku kangen para Adventure Time,” ucap Klori. Kami hanya tersenyum dan melanjutkan percakapan.
           
Siapa yang tahu kelas yang disebut Time Machine itu berhasil mengubah para ‘tak bisa’ menjadi luar biasa? Siapa yang tahu kisah sewaktu menjadi Adventure Time adalah kisah nyata dari dongengku? Tapi kalian harus tahu, itu adalah kisah klasik terbaikku.



END

Komentar

Postingan Populer