Lucky Charm (Cerpen)



            Drrt... drtt...
            Sebuah pesan masuk. Kotak pintar berwarna hitam itu bergetar lagi.
            Drrt... Drrt..
            Sang pemilik yang baru saja muncul dari balik pintu kamar mandi pun menekan keyword untuk screenlocked nya.
            Besok pagi, jam 10 ya.
            Ujung dari bibir sang pemilik yang masih beraroma pasta gigi kesukaannya itu tertarik, membentuk lengkungan U yang cukup manis.
            Ok
            Selanjutnya, malam pun menguasai kesadarannya hingga membuatnya tertidur.
           
Tepat pukul 8 pagi, gadis itu sudah berpakaian rapi dengan rambut yang masih setengah basah. Tangannya yang cantik dengan cekatan merapikan barang-barang yang sepertinya sudah ia persiapkan sejak kemarin sore. Kemudian Ia pun memasukkannya ke sebuah tas gendong orange tuanya.
Bibirnya yang tersungging senyum perlahan mengeluarkan nada-nada yang hanya ia sendiri yang bisa mendengar. Ya, ia tengah bersenandung. Sepertinya Ia ingin menyahuti paduan suara burung-burung gereja yang sedari tadi mengisi paginya dengan nyanyian mereka. Ah, entahlah.. Wajahnya tampak begitu berseri.
Ia sedang bahagia? Ya, wajahnya tidak mungkin berkata tidak bukan? Mungkin karena hari ini akhirnya ia bisa pulang ke rumah. Maklum, anak rantauan yang berkuliah di kota orang pasti sangat menanti-nantikan saat ini.

Atau ada yang lain?
Drrt..Drtt..
Kotak hitam itu kembali bergetar, seperti semalam. Gadis itu pun segera mengangkatnya.

“Ya, Ayah?”
Aura.. jadi pulang? Bawa motor?”
“Iya, Yah.”
Jam berapa? Sendirian?”

Kali ini gadis itu tak langsung menjawab.

“Ehm, temanku mau bonceng sampai GOR, Yah.”

Yang diseberang sana justru tak terus menjawab. Kemudian terdengar suara dehaman dari sang Ayah, penelepon di seberang sana.

Ya sudah, hati-hati ya.

Setelah menjawab ‘Ya’, telepon pun ditutup. Gadis yang bernama Aura tadi kembali melakukan aktivitasnya.
Tak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 10, dan matahari pun sudah melebihi tingginya.  Aura, Gadis tadi kini pun sudah siap dengan barang-barangnya. Dirinya juga sudah siap dengan jaket sweater kesukaannya.
Hanya satu yang kurang...
Orang itu belum menghubunginya.
Ya, orang itu.. orang yang mengajaknya berangkat bersama.. orang yang ia kenalkan sebagai teman saat ayahnya bertanya. Kemana dia? Apa dia lupa?

Di tempat lain di bumi yang sama, ah yah.. Sedikit puitis tak apa kan? Ya, di sebuah kelas di kota Pelajar itu, seorang pemuda tengah bergelut dengan soal-soal di mejanya. Di hadapannya terpampang sebuah banner besar bertuliskan ‘SEMANGAT UAS 2017’ bercetak tebal, namun pemuda itu tampak tidak peduli.
Tangannya sesekali menggaruk tengkuk dan rambutnya yang tidak gatal. Sepertinya ini memang sudah menjadi kebiasaannya saat tengah serius berpikir seperti sekarang. Sesekali matanya juga melirik jam tangan hitam hadiah ulang tahun ibunya tahun lalu di tangan kanannya.
10.30
Pemuda itu menghela nafasnya. Dia tahu dia sudah terlambat dan seharusnya dia tidak berada di sini. Dia yakin gadis itu pasti tengah menunggunya. Ya.. dia memilih meyakini hal itu daripada berfikir kalau gadis itu justru sudah pergi terlebih dulu meninggalkannya.
11.30
Pemuda itu tidak yakin bagaimana bentuk rambutnya saat ini. Yang jelas, ia menyadari kalau sejak tadi tangannya tak berhenti bergerak mengacak rambutnya ketika menemui soal yang tak bisa segera ia jawab. Every second is precious, you know.

“Ya Tuhan, kelar juga.” Gumamnya sembari menuliskan ‘Azka Sadewa’ di kolom identitasnya.

Azka –pemuda itu segera meraih tasnya kemudian melesat ke tempat parkir sepeda motor. Tangannya tak henti-henti mengobrak-abrik isi tas, mencari sebuah kotak hitam ajaibnya.
Sesampainya di parkiran, tanpa membuang waktu, segera ia tancapkan gas dengan tangan kiri yang masih sibuk memasang helm di kepalanya. Kotak hitam ajaibnya sudah terlebih dahulu masuk ke kantung kemejanya sebelum ia meraih si pelindung kepala. Oh ayolah.. ini sudah melewati batas perjanjian.
Dengan kecepatan ‘semampunya’, tangan kirinya masih sibuk memegangi kotak hitam yang tadi tersimpan di saku kemejanya. Di depan layarnya tercetak jelas jalur GPS menuju ke sebuah alamat yang tentunya baru baginya.
“Ra, jangan berangkat dulu. Kumohon..” gumamnya disela-sela kegiatan menyetir dan melihat GPS-nya.


OOO

            Aura yang kini sudah turun dari ‘sarang’nya di lantai 2 hanya bisa pasrah melihat jam di tangan kirinya yang menunjukkan pukul 12 siang. Ini gila, sudah 2 jam Ia menunggu orang itu, namun Ia masih belum datang. Jangankan datang, mengabarinya saja tidak.
            “Apa banget sih.. kayak di PHP-in orang penting aja.” Gumamnya. Padahal hanya sekedar janjian pulang bareng. Bukan selalu berada sehidup semati, yaelah baper kan dia.
            “Hufh..”
            Aura memutuskan untuk mengeluarkan motor matic-nya dari ‘kandang’ kemudian memanasinya. Beberapa menit kemudian, ia membuka gerbang kosannya dan kembali menuju si ‘merah’ untuk membawanya pergi dari tempat yang menjadi saksi ‘merasa diphpkan’ ini.

            “Tang, kayaknya khayalan kamu ngga akan terwujud. Kak Azka ngga ngabari. Aku udah di telepon Ayah dari tadi. Aku mau berangkat sendiri.” Gumamnya di depan smartphone-nya. Ia baru saja mengirimkan sebuah Voice Note ke seseorang berusername Bintang di kontaknya.
            Tangannya kemudian meng-scroll down kolom percakapan, dan membuka kontak berusername Azkarung beras.

            To : Azkarung Beras
            Kak kayaknya aku berangkat sendiri aja. Udah siang. Lain kali lagi aja  ya barengannya.

            Selepas menekan tombol send, Aura segera memasukan kotak ajaib itu ke saku jaketnya dan membenahi maskernya. Sudah tak ada waktu lagi menunggunya. Aura sadar ia tak boleh membiarkan angannya terlalu tinggi dan justru membuat kedua orang tuanya khawatir. Ya, sahabatnya juga, si Bintang terutama. Sejak kemarin malam, Ia bercerita dengan hebohnya kepada si Bintang mengenai ajakan Azka yang memang tengah membuat jantungnya berlaku diatas normalnya. Mengingatnya membuat rasa kecewa Aura kembali menguar. Seharusnya ia tak seheboh itu.
            Baru saja Aura selesai mengunci pintu gerbangnya dari depan, tiba-tiba ponselnya bergetar hebat. Tentu saja, tangan Aura tak kuasa membiarkannya menggelitik area perut jaketnya dimana ponsel itu tersembunyi.
            4 Notifikasi
            2 Missed Call dari Ayah, dan 31 Missed Call dari Azkarung Beras.
            Mata Aura melebar melihat layar smartphonenya. “KAK AZKA?!”

            “Oi!”
            Dan Ia sukses melongo dengan tidak elitnya.
            Baru saja ia terkejut dengan layar smartphonenya, yang diteriakkan justru sudah berada di hadapannya dengan cengiran tanpa dosa. Bukan hanya itu, tapi lihat tampangnya! Rambut acak-acakan dengan helm yang tidak terkunci. Ditambah lagi satu tangannya memegang smartphone... SMARTPHONE?!
            Jangan-jangan ia menyetir sambil menelepon?! Wah dasar sinting!
            “Ayo ke rumahku dulu, ambil barang.” Tukasnya yang hanya dibalas dengan muka cengo gadis manis di hadapannya. “Sejalur kok sama tempat tujuan,” tambahnya kemudian berbalik dan meminta Aura mengikutinya.
           
            Sesampainya di rumah Azka, Aura tak segera mengekorinya masuk ke dalam. Ia hanya menunggu di depan halaman rumah Azka, mengamati lingkungan sederhana yang setiap hari menjadi sajian pemuda yang tengah merusuhi pikirannya beberapa waktu ini.
            “Nak, ayo masuk dulu.”
            Suara lembut seorang perempuan yang sepertinya berusia setengah abad itu menyadarkan lamunan Aura. Si gadis bersweater unik itu segera berbalik dan membungkuk sopan. Perempuan itu sudah berada di sebelahnya dengan tangan yang siap merengkuh bahunya, membawanya ke ruang tamu sederhananya.
            Aura hanya menunduk sopan. Hari ini ia seperti sedang menyamar menjadi anak kalem. Ia yakin kali ini Ia tampak lebih feminim. Sepertinya, Aura si tomboy, julukan kesayangan Bintang sudah tidak ada lagi detik ini.
            “Namanya siapa?” tanya perempuan yang membawanya ke dalam rumah ini dengan senyuman lembutnya.
            “Aura, tante.” Jawabnya, sok feminim.
“Saya ibunya Azka.” Ujar perempuan tadi. Kemudian percakapan singkat mereka dimulai
            Tanpa sadar telingannya memerah menahan malu. Fakta kalau kamar Azka, setidaknya begitu kata Ibu Azka, berada di sebelah ruang tamu membuatnya tak bisa membayangkan ekspresi apa yang sedang Azka tunjukkan jika Ia mendengar percakapan mereka. Sama seperti Bintang, Azka juga mengenal sosok Aura yang tomboy dan bebas. Tidak seperti sekarang, terlalu feminim meskipun ia masih memakai celana training milik Bintang karena celananya sendiri masih di laundry.
            “Yok, Ra.”
            Azka tiba-tiba muncul dari balik pintu bertirai krem yang menyekat antara ruang tamu dan ruang keluarga –Aura tahu ini dari penuturan ibu Azka. Dilihatnya, Azka sedang merapikan bawaannya dengan sang ibu yang tengah berdiri di sampingnya.
            “Jaga dirimu,” ucap Ibu Azka.
            “Iya ibu, maaf ya mendadak. Doakan menang.”
            “Langsung pulang ya, Kak.” Sahut Ibunya diikuti anggukan Azka.
            Setelah bersalaman dengan Ibu Azka, mereka berdua segera berpamitan dan menghampiri si ‘merah’ kesayangan Aura.
            “Bukan maksud romantis, tapi please pegangan. Demi keselamatan, bukan demi baper-baperan.” Ujar Azka tanpa menoleh ke belakangnya. Aura tahu Azka hanya bercanda, namun tidak bisa dipungkiri pipinya dibuatnya merona. Setelah balik menjawab guyonannya, mereka segera berangkat meninggalkan rumah Azka.

            Baru beberapa kilometer berjalan, Azka yang mematikan gas motornya saat berhenti di lampu lalu lintas yang menyala merah itu menoleh ke belakang. Si Gadis yang tadinya sibuk berchatting ria pun menatapnya datar.
            “Buka Maps. Cari GOR-nya ya.”
            Tanpa mempedulikan Aura yang sempat memutar bola matanya, Azka kembali melajukan sepeda motornya.
            Sebenarnya perjalanan ini sungguh biasa saja, akan tetapi entah mengapa Aura merasa berbeda. Ada kesan tersendiri yang ia rasakan. Meskpiun tangannya tak henti-henti menopang si kotak hitam ajaibnya, jantungnya tak pernah seriang ini sebelumnya.
            Ternyata Aura tidak merasa canggung sama sekali, malah merasa nyaman seperti setiap hari bertemu. Nyatanya selama ini mereka lebih sering bercakap melalui SNS saja.
            Azka mengemudikan motornya dengan sangat baik. Kecepatannya terbilang diatas normal namun tak menampakkan kekhawatiran sama sekali dari si pengemudi. Meskipun Aura kadang kesusahan bermultitasking antara berpegangan dan memegangi si kotak pintar, Ia sama sekali tidak takut jatuh. Azka seolah-olah bisa merasakan jika penumpangnya mulai tidak fokus dengan pegangannya sehingga sesekali mengurangi kecepatannya dan sengaja mengambil jalan bergelombang untuk menggagalkan ketidakfokusan dari si penumpang.
            Yang membuat Aura lebih berbunga-bunga adalah ketika Azka tiba-tiba berhenti dan meminta Aura untuk menunggu di dekat motornya sedangkan Ia sendiri berhamburan mendatangi seorang pedagang yang tadi terjatuh dari sepedanya. Aura tidak tahu apakah Azka melupakan jadwal pertandingannya atau jadwal pulang Aura yang sudah molor 2 jam atau bagaimana. Namun berkat Azka, Aura tahu, Every second is precious, and the ‘precious’ thing is such as helping the others..
            “Pegangannya jangan dilepas, Neng. Sebentar lagi kita akan menghadapi ujian yang sesungguhnya..” tukas Azka diikuti tawa dramatis seperti super hero – super hero baratnya.
            Benar saja, perjuangan mereka baru saja dimulai. Di depan mereka sudah menanti jalanan bergelombang berkilo-kilometer jauhnya. Aura hanya tersenyum pasrah, Ya Tuhan.. untung Aura baik, jadi ngga ngumpat.
            Belum sampai tempat tujuan, Aura harus berhadapan dengan ujian selanjutnya.
            Azka tiba-tiba setengah berdiri atau lebih tepatnya mengangkat pantatnya dan sebelum Aura benar-benar siap...

Bruuuuutttt
            Sepertinya tokek peliharaan Bintang sahabatnya baru saja menemui ajalnya dari dalam tubuh Azka, tentu saja keluar dari balik buntalan daging yang Aura lihat terbungkus celana putih milik Azka.
            “Enak kan, Neng?” tanya Azka dengan sedikit mengurangi kecepatannya.
            “Hu..uh..” jawab Aura dengan ekspresi herp yang sontak membuat Azka tertawa lepas, Azka melihatnya dari balik sepion.
            “Mau lagi?? Mau lagii?”
            “Mau bang~” Jawab Aura dengan nada dibuat manja.
            Azka kentut! Astaga untung ganteng.. untung naksir, eh.
            Jika saja ada orang yang tengah menatapnya intens, bukan seperti saat ini, Ia yakin orang itu akan menertawainya juga. Sekujur tubuhnya pasti sudah memerah menahan malu sekarang. Aura tak berani mengingat orang-orang yang tadi berada di pinggir jalan yang sepertinya mendengar percakapan mereka dengan ekspresi ingin muntah, pasutri-baru-yang-gila, ya mungkin mereka berfikir seperti itu.
            Akhirnya, perjuangan Aura menemui pintu keluarnya.
            “Ayo turun dulu.”
            Aura pun mengikuti Azka yang berjalan di depannya. Mereka telah sampai di GOR, tempat Azka bertanding hari ini.
            “Astaga..” Batin Aura kembali bergelut. Perjuangannya belum berakhir. Ketika Aura berfikir ia akan terkagum-kagum dengan GOR tempat pertandingan bela-diri Azka kali ini, aroma khas para petarung menguar menyogok paksa saraf olfaktoriusnya.
            Jumlah petarung yang tidak sedikit dan kondisi GOR yang cukup panas membuat aroma tersebut dengan bebas mengumpul di udara, bagaikan bom yang siap menjatuhi hidung siapa saja.
            Tanpa sadar, Aura sudah berada diantara tim Azka yang sebagian besar sudah selesai dengan pertandingannya.
            “Tunggu sini ya.” Kemudian Azka meninggalkannya menuju kerumunan anak remaja usia 15 tahunan, 4 tahun dibawah Aura.

OOO
            “Ka, sama pacar ya?” Anak laki-laki dengan sabuk hijau itu mengerling ke arah seorang gadis yang tadi datang bersama Azka. Yang digoda hanya mendengus sambil merapikan ikatan adik asuhnya yang lain.
            “Cie.. kenalin dong ka sama kami.” Kali ini anak laki-laki yang sedang ia bantu membenarkan sabuknya yang menggodanya.
            “Untung akrab..” tukas Azka sembari menoyor pelan adik asuhnya itu. Azka kemudian memanggil anggota yang lain dan mengajaknya berkumpul sebentar.
            Mereka berdiskusi mengenai yang sudah terjadi dan rencana untuk anggota selanjutnya yang akan bertanding, termasuk Azka. Tidak terasa, diskusi mereka mendekati akhir ketika sebuah tangan menarik ujung lengan Azka.
            “Ka, Aura mau balik dulu.” Ucap si empunya tangan, dengan sedikit terkejut, Azka mengangguk dan merogoh saku celananya. Ia memberikan kunci motor si gadis dan melihat punggungnya berbalik.
            “Ngga dianter keluar?” Anak laki-laki yang menggodanya pertama kali tadi kali ini menepuk bahunya. Azka masih bergeming menatap punggung Aura yang semakin menjauh.
            “Helm lu kak Helm!” celetuk anak laki-laki yang kedua.
            Sontak Azka berlari mengejar si Gadis, menyisakan segerombol anggota timnya yang menatapnya dengan tatapan ‘uhh-romantisnya’ ‘kayak drama’ dan sebagainya.
            “Aura!”
            Azka melihat Aura berbalik. Ia masih belum berhasil keluar dari GOR karena jalannya tertutup badan-badan besar pemain dari tim lain. Mengetahui hal itu,Azka segera meraih ‘tas’ Aura dan menariknya untuk mengikutinya hingga sampailah mereka di tempat parkir sepeda motor.
            Aura hanya menggerutu tak jelas, tentu saja karena Azka tak benar-benar mendengarkannya.
            “Helm ku, bro. Nanti aku pulangnya gimana tanpa helm ajaib!” ucap Azka yang dihadiahi dengusan kasar si gadis.
            Sebenarnya ada sedikit perasaan kecewa ketika menyadari kalau gadis dihadapannya tidak bisa tinggal lebih lama, apalagi melihat pertandingannya. Akan tetapi, ia tidak bisa memaksa. Salahnya sendiri terlambat dari jam janjiannya. Walau begitu, Azka merasa masih belum rela jika gadis ini hanya pulang begitu saja.
            “Eh, bentar-bentar..” Azka segera melepas sabuk hitamnya kemudian mencari spidol hitam dari kotak pensil Aura tanpa-ijin.
            “Tanda tangani cepet!” perintahnya. Aura hanya melotot menatapnya.
            “Buat?”
            “Nandai hari ini aku beneran jadi ikut tanding.” Jawab Azka dibumbui cengiran konyol seperti biasa.

            Aura tentu saja merasa heran dengan sikap Azka, untuk apa coba tanda tangan? Memangnya dia punya hutang? Yang paling penting, memangnya boleh sabuk yang menurut Aura ‘berharga’ ini di corat-coret? Dengan warna yang kontras pula!
            Akan tetapi, suara ayah Aura yang sudah tidak sabar menanti gadisnya pulang membuat Aura segera meraih spidol putihnya dan menorehkan tanda tangan di tempat yang diminta si Kakak tingkat yang super gila itu.
            “Jangan lupa kabari kalau udah sampai, biar aku ngga usah siap-siap jadi saksi di kantor polisi.” Ucapnya dihadiahi ekspresi herp singkat milik Aura. Oh ayolah... dia tidak bisa menjaga imagenya jika di hadapan orang gila ini.
            Sebelum Aura benar-benar mengendarai motornya, Ia menepuk bahu Azka yang masih membenahi sabuknya kembali dan berkata “Ya, thanks. Sorry ngga bisa lama-lama. Good luck ya! Jangan parah-parah lukanya. Hahaha..”
           
            Azka hanya bisa menunjukkan rentetan gigi putihnya sambil menatap si merah dan pemiliknya yang menjauh. Kemudian dia pun berbalik dan memegang ujung sabuk yang terdapat tanda tangan Aura disana.
            “Of course..” gumamnya kemudian kembali menuju kerumunannya.
            Ngga akan parah-parah ko, Ra. Apalagi sampai patah tulang. Kan udah ada ini. This is my lucky charm. Ini udah cukup sih heheh.. paling Cuma lebam.
-Anggap saja ini isi hati Azka yang masih harap-harap cemas menanti giliran bertanding.



END

Komentar

Postingan Populer