Sweet Dream (Cerita Bersambung) Ch 1

Chapter 1

            Ruangan itu serba putih. Dinding, tirai, seprai, selimut, bantal, didominasi oleh warna putih. Dan bau menyengat itu, benar-benar mengidentikkan sebuah ruangan yang berada di rumah sakit. Ya, ruangan itu memang benar berada di rumah sakit dan ruangan itu merupakan sebuah kamar. Kamar pasien yang kini tengah tenggelam dalam tidurnya yang sangat nyenyak. Apakah ia bermimpi? Tetes-tetes infus yang mengalir melalui selang itu hanya bisa mencari tahu tanpa menghasilkan apa-apa, berharap sang pasien segera sadar dan bercerita padanya. Apakah mimpimu indah, nona?
            Wanita itu hanya bergeming, masih dalam keadaan yang sama –tertidur. Hanya suara penghitung tekanan darah, denyut jantung dan sejenisnya yang mencoba membangunkannya. Hey, mengapa tidurmu nyenyak sekali? Tidakkah kau ingin bangun dan melihat keadaanmu?
            Wanita itu tak merespon. Meski badannya penuh luka yang kini dibalut oleh perban-perban, wanita itu tak mencoba mencari tahu. Dia masih tertidur pulas dengan selang oksigen yang menjadi jembatan antara dunia mimpinya dan dunia nyata. Cukup lama, ia berada disana. Dan kini, bisakah kau beritahu mimpimu itu, nona?

ooOOOoo

            “Selamat siang, Tuan.” Seorang wanita berbalut seragam putih menyapa seorang lelaki tampan dengan senyum hangat. “Anda sedikit terlambat hari ini,” tambahnya dengan nada ramah.
            “Apa Dokter Ken sudah pergi?” Tanya pria itu. Sang wanita berseragam putih itu menggeleng. “Belum, tapi beliau menyuruh Anda menunggu sebentar karena harus memeriksa pasien lain.”
            “Oh, terima kasih. Aku akan menunggu di tempat biasa,” ujar si pria kemudian berjalan menuju sebuah kamar pasien. Ia berhenti di depan kamar VIP 1. Segera ia raih kenop dan membuka pintunya.
            Terlihat seseorang tengah terlelap dibalik selimut putih yang tampak cukup hangat. Pria tadi melangkah mendekatinya, menatap sebentar seseorang itu kemudian menarik kursi ke dekatnya dan mendudukinya. “Kau belum juga bangun,” ucapnya lirih.
Drrrt.. Drrrt..
            Sebuah getaran berasal dari kotak hitam ajaib sukses mengalihkan perhatiannya. Ia segera meraihnya dan mendapati panggilan masuk dari seseorang, Darren Hans.

            “Hallo..”
            Hallo, Dave. Dimana kau?Rumah sakit?
            Lelaki itu menggumam, memberi tanda ya. Kemudian terdengar suara dari seberang sana.
            Ibumu menyuruhmu menginap karena beliau harus pergi ke luar kota. Aku akan membawakan baju dan peralatan kerjamu.
            “Hm, bawakan saja laptop merahku dan laporan Linda hari ini. Aku sudah memeriksa laporan Demi,” jawabnya sembari meletakkan jasnya diatas sofa putih di sudut ruangan. Kemudian panggilan pun terputus..

            Dave-lelaki tadi- kembali menduduki kursi di dekat kasur pasien. Ia mendesah pelan dan meraih tangan pasien itu, mengamatinya. “Sebenarnya berapa umurmu? Tanganmu sangat kecil, nona,” gumamnya sembari menggenggam tangan kecil tadi.
            Dave mendekatkan dirinya dan mencium punggung tangan pasien yang dia panggil nona. “Maafkan aku, kumohon bangunlah..”

Cklek..
            Pintu kamar dibuka. Kemudian seorang dokter pun masuk bersama asistennya. Dalam name tag-nya tertulis Jackob Park. “Selamat siang, David.”
            David berpaling dan menatap siapa yang datang. “Kau datang,” ucapnya kemudian berdiri dan memperhatikan sang dokter yang tengah memeriksa pasiennya.
            “Kau sudah menemukan keluarganya?” Tanya dokter itu di sela-sela aktivitasnya.
            “Belum,” jawab Dave.
            “Namanya?” Tanya dokter lagi namun kali ini Dave hanya menggeleng. Dokter Jack menatapnya, “Aku sudah.”
            “Bagaimana—“
            Ucapan Dave terputus tatkala asisten Dokter Jack menghampirinya dan memberinya sebuah kalung. Kalung berliontin batu RedStar dan sebuah nama, Dhea.
            “Suster yang pertama kali mencuci pakaiannya menemukan kalung ini terputus dan terselib di saku. Kemungkinan besar itu adalah namanya. Ohya, aku sudah memperbaikinya untukmu,” ujar Dokter Jack dengan senyum hangatnya.
            “Terima kasih, Paman.”
            “Ya, dan berhentilah memanggilnya ‘nona’ karena sekarang dia punya nama, Dhea,” ucapnya kemudian meminta data-data yang dipegang asistennya.
            “Keadaanya sudah baik, kita tinggal menunggu kesadarannya pulih.” Tutur Dokter Jack sembari membolak-balik kertas laporan dari asistennya. “Aku harus pergi, kau bisa memencet alarm jika terjadi sesuatu padanya,” tambah sang dokter kemudian pergi meninggalkan Dave dan Dhea.
            Jadi.. namanya Dhea, pikir Dave. Segera ia membuka kail pengunci dan bermaksud memakaikan kalung itu pada gadis yang sampai sekarang masih terlelap.
            “Sudah hari ke-49, aku baru mendapatkan kalungmu, Dhea.” Tuturnya sembari memakaikan kalung itu pada Dhea. “Apa kau senang?” Tanya Dave pada gadis yang tertidur itu. Dave mendadak sedih karena selama ini gadis di depannya tak pernah menjawab pertanyaanya. Ia pun mendadak teringat omelan Ibu dan Ayahnya saat pertama kali mengabarkan kalau dia menabrak seorang gadis luar yang ternyata tanpa identitas.
"Kau harus bertanggung jawab, Dave!"
"Bisa-bisanya kau mabuk saat menyetir!"
"Kau tau, keluarganya pasti sangat khawatir! Apalagi sudah jelas dia bukan orang negara ini!"
"Pokoknya kau harus merawatnya, minimal sampai keluarganya ditemukan!"

Dia, David Raditya Kim, putra tunggal Raymond Kim dan Adinda Raditya menabrak seorang gadis saat ia tak sengaja mabuk. Sebagai anak tunggal, Dave selalu patuh dan menuruti semua keinginan orang tuanya. Ia pun selalu berperilaku baik, meski sedikit dingin. Ayahnya sangat berharap ia bisa menjadi penerus yang hebat. Oleh karena itu, ia berusaha keras dan fokus mengembangkan karirnya. Saking fokusnya, ia sampai tidak punya fikiran untuk foya-foya atau sekedar menjalin hubungan dengan wanita hingga kabar bahwa ia seorang ‘gay’ menyebar dan terdengar ditelinga Ibunya. Tentu saja, sebagai seorang ibu yang sangat menyayangi anaknya, ia murka. Dave dimarahi habis-habisan bahkan diancam takkan bisa melihat ibunya lagi di dunia jika ia tak segera membuktikan kalau dia bukan gay. Entah dari mana asalnya, malam itu Dave mabuk dan uring-uringan hingga akhirnya ia menabrak gadis yang kini ia tahu bernama Dhea.
Mengetahui kecerobohan putranya, Adinda pun menyuruh Dave merawatnya di rumah sakit keluarga dengan perawatan kelas utama. Adinda turut menyesal. Ia pun ikut merawat Dhea setiap hari jika Dave tidak bisa karena urusan bisnis. Disamping itu, Adinda dan putranya juga sibuk mencari tahu identitas dari gadis malang yang terbaring ini.

“Dave..”
Seseorang tiba-tiba masuk membawa sebuah tas yang Dave yakin berisi pakaian, laptop, dan berkas yang dia minta. Yaps, seseorang itu adalah Darren, sekretarisnya. Ia datang bersama istrinya yang dia tahu bernama Lin.
“Berapa lama kau melamun?” Tanya Darren sembari menaruh barang-barang Dave. Dave hanya menggeleng. Perasaannya campur aduk memikirkan peristiwa yang dialaminya.
“Aku beri tambahan laporan karena besok kau libur mengurus—“
“Dhea, namanya Dhea,” sahut Dave. Kemudian menenggak botol mineral yang dibawa Darren. Darren adalah sekretaris pribadi, sahabat yang sudah seperti kakaknya sendiri. Darren mengernyit, pandangannya kemudian beralih pada Lin yang tengah mengelap keringat yang mengalir di wajah Dhea.
“Sudah dapat informasi?” Tanya Darren ditanggapi gelengan lemah dari Dave.
“Hanya nama, itupun dari kalungnya.”
Darren meraih botol mineral yang tadi diminum Dave, “Pasti akan kita temukan.”
“Akan lebih cepat jika dia bangun dan memberitahu kita. Aku tak ingin keluarganya terlalu murka padaku, Dar.”
“Bersabarlah..”
Dave mendesah. Ia kemudian mengikuti Darren duduk di sofa. “Dia terlalu lama tidur. Aku sampai berfikir dia hanya akan bangun kalau keajaiban datang.”
“Jangan beg—“
“Dar!” Lin tiba-tiba memanggil dengan lirih. Oh, Lin memang sangat irit suara..
“Apa?” Tanya Darren sembari menatap Lin yang justru menatap Dhea sangsi.
“D-Dia bangun.”

“Kalau begitu, mukjizat pasti dat—“
“Dia bangun, Dave! Dia bangun! Darren, cepat panggil dokter!” Kini Lin sukses membuat Darren berlari mencari dokter dan Dave berdiri mendekati Dhea dengan segera.
Dan benar. Dhea benar-benar bangun. Matanya coklat muda cerah sedang mencoba menatap wajah Dave dan Lin. Sementara bibirnya membuka seperti kehausan... Astaga! Sontak Dave meraih gelas berisi air mineral yang memang disediakan jika Dhea benar-benar sadar. Dave dan Lin membantunya sedikit duduk supaya ia bisa minum.
Tak lama kemudian dokter datang..
“Bagaimana, Paman?” Tanya Dave cemas. Ia, Lin, dan Darren berada diluar setelah dokter meminta mereka untuk keluar. Dokter Jack menatap keponakannya iba. Hal itu tentu menambah kecemasan Dave. Akan tetapi, dokter kembali –mencoba- tersenyum.
“Dia sehat, hanya perlu istirahat sebentar. Tapi ingatannya...”
“Ingatannya?”
“Dia amnesia, Dave.”


bersambung....
x

Komentar

Postingan Populer